Mohon tunggu...
fathor rasi
fathor rasi Mohon Tunggu... -

Fathor Rasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mukaddimah “Perang” di Asia-Pasifik, Indonesia-China vs AS-Australia?

2 Maret 2014   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 3413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konvoi kapal perang China di Perairan Selatan Indonesia berjalan mulus (Jkt Post 15/2/14) setelah petinggi militer China memberi “salam koordinasi” untuk memasuki Pintu perbatasan NKRI. TNI seolah mengulurkan tangan persahabatan sembari menyambut kehebatan jejeran kapal-kapal laut, helikopter yang terparkir di atasnya, beserta kapal-kapal selam yang mengambang di permukaan perairan selatan Indonesia tak jauh dengan Australia. TNI mempersilahkan arak-arakan alutista laut dan darat Negeri Tirai Bambu tersebut sepulang dari Teluk Aden setelah menunaikan anti-piracy training.

Adalah mustahil jika sinyal kapal-kapal negeri the emerging super power itu tidak terlacak oleh pasukan AL Australia. Ya, mereka baru saja pulang dari “pelatihan anti bajak laut” untuk melintasi perairan NKRI. TNI, melalui peristiwa ini, seolah ingin menyampaikan pesan kepada pemeritahan Abbott untuk menghentikan apa yang disebut dengan Piracy tepatnya pembajakan atas nama negara. Aksi “bajak laut” para AL Australia dengan merampas kapal-kapal pencari suaka tak berdaya untuk mendapat gelar “pengunsi” serta menyeret kembali ke belantara lautan dengan sekoci kecil, menendangi mereka, serta secara ilegal dan memasuki perairan NKRI tanpa izin adalah cermin peprilaku “perompak”.

Kemesraan jalinan hubungan militer keduanya, TNI-militer China, sekaligus menandai adanya ketegangan, ancaman, dan gesekan Jkt-Canberra atau bahkan Beijing-Washington yang masih belum usai dan memanas. Sedangkan kerjasama Jkt-Beijing, sebagai kekuatan baru dunia, adalah pilihan tepat melengkapi kerjasama ekonomi kedua negara tersebut. Tindak lanjut kordinasi di perairan NKRI waktu itu berujung harmonis. Hasilnya, Panglima Jenderal TNI Dr. Moeldoko mengunjungi Markas Komando Pertahanan Undara Beijing, China, Selasa (25/2/2014). Panglima TNI Jenderal TNI. Dr. Moeldoko didampingi Komandan Pusat Komando Pertahanan Undara Brigjen Zhang Peng. Menerima jajar kehormatan pada saat tiba di Markas Pusat Komando Pertahanan udara Beijing,China. Republik Indonesia, negara terkuat ASEAN terutama dalam pertumbuhan ekonomi, dan China, sebagai negara super power baru dengan belanja militer tertinggi dunia, sepertinya akan mengganjal proyek Pivot Toward Asia-Pacific yang diprakarsai AS (via Aussie).

J. Kerry “Gatot” Sebab Abbott
Koordinasi 15 Februari kedua raksasa itu, diendus Canberra dan kemudian meledak via New York Times (16/2/14), seolah memulihkan virus superiority complex yang diderita Mr. Abbott sehingga langsung memberikan klarifikasi melalui media itu untuk selanjutnya ramai diekspos berbagai berita surat kabar asing. Hasilnya, Menlu Indonesia, Marty Natalegawa sulit mencerna pernyataan Abbott itu. Begitu gentingnya persoalan udang dan cengkeh sehingga intelijenpun ikut dikerahkan dan persahabatanpun dikorbankan.
Akibatnya, agenda pembicaraan sengketa SCS (South China Sea), China Vs Jepang, seakan tidak membuahkan hasil apa-apa dan justru menunjukkan usia AS yang semakin renta, sekaligus menandai gagalnya Washington menjadi polisi di Asia-Pasifik. Selanjutnya kesan yang muncul kepermukaan adalah blunder kebijakan luar negeri Obama sehingga kunjungan John Kerry ke Asia sepenuhnya gagal total. Mengapa?
1.Washington yang tersekesan diam terhadap prilaku liar pemerintahan Canberra berhasil menjebak RI-China merasa berada pada nasib yang sama, yaitu seakan menjadi korban arogansi Australia sebagai “entitas” Barat khususnya AS.  Asia ataupun ASEAN belum sepenuhnya tuli atas kunjungan Obama ke Canberra dalam rangka merayakan persekutuan US-Asutrallia di Canberra pada November 2011 lalu, yang menuai kritik dari oposisi politik di Australia maupun pegiat HAM, bebab secara diam-diam Obama membeberkan catatan isu-isu HAM China sebagai usaha melumpuhkan kekuatan maupun image negara tersebut di mata dunia. Sedangkan Indonesiapun sama sekali tidak nyaman atas hadiah spesial Obama atas Australia berupa penempatan militer AS di Darwin yang semakin mengusik China-Indonesia.
2.Sengketa South China Sea antara Jepang vs China menguap ke udara begitu saja tanpa jejak, terutama di Jakarta. Muatan berita yang diangkat kepermukaan baik oleh media nasional dan internasional bukan fokus pada langkah-langkah strategis mengatasi SCS yang kian memanas itu, justru sebaliknya mereka lebih mengekpos “curhat” Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, soal penyadapan tersebut,  Termasuk sulitnya menarik benang merah antara bisnis udang dan isu keamanan.
3.Klarifikasi Abbott soal penyadapan itu “for the benefit of our friends” ditafsirkan RI sebagai pernyataan “rasis” dan sangat melukai RI. Sahabat yang mana yang Abbott maksud? Jakarta bahkan Beijingpun memandang Washington-Canberra berada dalam satu paket. RI mengalami trauma sejarah atas apa yang terjadi di Tim-Tim sedangkan penempatan 25.000 militer AS di Darwin secara ekplisit adalah ajakan perang terbuka terhadap China dan secara implisit terhadap Indonesia demi proyek pivot toward Asia-Pacific itu. Apalagi kunjungan Hillary Clinton pada Juli 2010 silam yang kembali mengusik China atas klaim SCS pada saat Beijing Sendiri lebih nyaman dengan pendekatan bilateral tanpa perantara AS. Pernyataan Abbott adalah simbol superiotas, keakuan dan seolah mendapat privilege tanpa teguran dan kontrol dari siapapun.
Kunjungan Kerry ke Asia utamanya ke Jakarta tentu jauh akan lebih bermakna jika ketegangan Jkt-Canberra diatasi atau setidaknya memfasilitasi kedua negara tersbut, sebab perundingan South China Sea sepenuhnya tergantung pada hubungan keduanya. Apakah ini sinyal bahwa AS tidak lagi memahami Asia, sebab beban domestiknya? Atau sengaja membiarkan Abbott liar tanpa kendali?
Asia-Pasifik dan Pergeseran Geopolitik
Hal ini membenarkan paparan International Institute of Strategic Studies, di London, bahwa manuver AS di Asia-Pasifik adalah cermin keresahan Obama terhadap China sebab bajet militernya mencapai 30% bahkan bisa lebih. Sedangkan Pentagon saat ini sedang melakukan pemangkasan habis-habisan baik mulai dari bajet alutista hingga pengurangan personel. Hal ini ditandai dengan penarikan kembali pasukan AS utamanya di negara-negara konflik di Timur Tengah.

Kebijakan Obama, untuk semakin fokus di Asia, tersebut didorong oleh berubahnya persepsi kekuatan ekonomi dan militer China, serta beban krisis ekonomi USA semakin buram tak menentu, dan sekaligus menandai apa yang disebut dengan geopolitical shift yang diprediksi dan sekaligus isyarat berakhirnya pengaruh AS di Asia-Pasifik. Kebangkitan Asia selalu dicurigai AS atas nama keamanan global. Kesalahan besar AS yaitu sepenuhnya mempercayakan keamanan ASEAN pada Australia. Persoalan ini akan mempersulit AS untuk unjuk gigi di kawasan itu jika hanya menggunakan komunikasi sepihak dengan Australia.

Perubahan cepat telah menjadi takdir Asia maupun ASEAN, diiringi pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik dan meledaknya kaum kelas menengah (ke atas) sebab mereka tidak ingin terus menerus menyadang gelar negara miskin. Siapapun yang ingin menjadi kapten di bahtera Asia-Pasifik tentu tidak mudah. AS mestinya merubah cara-cara yang mulai terbaca dan mengundang kecurigaan. Menghindari “bilateralism” menuju ke arah “multilateralisme” sebab kita saat ini berada pada great convergence, meminjam istilah Kishore Mahbubani, di mana kita hidup di kapal yang sama namun di kabin-kabin yang berbeda, dimana setiap penumpang ingin menjadi kapten dan bebas dari penindasan.

Perang ekonomi kian berkecamuk, bukankah perang adalah bisnis yang dimotivasi ekonomi? Apakah Asia-Pasifik menjadi medan tempur pergeseran the emerging super power atas the existing seper power? Entahlah, yang jelas ASIA sudah menemukan ritme ekonominya. Kasus Penyadapan Intelligent Abbott atas petinggi RI adalah bukti bahwa AS hanya ingin melakukan hubungan ekslusif, bilateralism, dengan anteknya, yang berujung pada runyamnya perundingan SCS plus merapatnya NKRI-China. Inilah sinyal perang ringan di Asia-Pasifik.

Oleh: Fathor Rasi (Forum Intelligentsia Bebas)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun