dr. Yendri Januardi, SpB(K)Onkologi
SEBUAH studi klinis telah dirilis di tahun 2019 kemarin bahwa di tahun 2040 mendatang, dunia akan kekurangan tenaga medis Onkologi. Ini terjadi karena seiring waktu, penderita kanker di dunia menjadi bertambah sangat signifikan sehingga menjadi beban kanker global. Dan kenaikan jumlah ini menjadi salah satu krisis besar di bidang kesehatan. Satu sisi, tenaga medis yang berkompeten dalam hal ini Onkolog, ternyata jumlahnya masih sangat sedikit dibanding kebutuhan dan tuntutan penanganan untuk kasus ini.
Masih berdasar studi klinis yang diterbitkan di jurnal The Lancet Oncology itu, konon lebih dari 15 juta orang diperkirakan akan membutuhkan kemoterapi pada tahun 2040. Jumlah tersebut adalah akumulasi dari berbagai negeri termasuk Asia Tenggara. Dan lebih khusus, jenis kanker yang diindikasi butuh perawatan kemoterapi adalah kanker paru-paru, kanker payudara dan kanker usus. Such a nightmare!
Kemungkinan indikasi ini diiyakan pula oleh dr. Yendri Januardi, SpB(K)Onk., Dokter Onkologi di RS Marinir Cilandak.Di Indonesia sendiri, jumlah Onkolog sangat jarang dan terlalu sedikit dibanding jumlah populasi penduduk Indonesia. Tahu  jumlahnya berapa? "Cuma sekitar 180an," kata dr. Yendri lagi.
Apalagi ia bekerja di lingkungan TNI yang notabene banyak berurusan dengan bedah, "Waktu saya jadi Dokter Bedah di Papua, saya melihat pasien kanker banyak yang tak tertangani dengan baik karena tidak ada Dokter Onkologi di sana. Jumlah Dokter Onkologi tak banyak di Indonesia bahkan di kota-kota besarpun masih jarang. Di situlah saya tertarik karena saya ingin membantu pasien kanker." Â
Bagi  dokter kelahiran  Pekanbaru, 11 Januari 1975 ini, onkologi sangat menarik, "Kenapa onkologi menarik? Sampai saat ini, ilmu selalu berkembang. Setiap hari ada ratusan penelitian tentang kanker dilakukan di seluruh dunia. Para ahli melakukan penelitian tentang pengobatan yang bisa membuat pasien sembuh. Kalau  infeksi dikasih antibiotik bisa langsung sembuh. Kanker tak seperti  itu. Pengobatan  cancer itu multi disiplin, multi modalitas. Tidak selalu penanganannya dengan operasi  tetapi juga dengan pemberian obat-obat lain seperti kemoterapi, radiaterapi, target terapi, gen  terapi... dan sekarang ada yang terbaru yakni stem cell."
Hal yang tak bisa disangkal dalam upaya penanganan kanker menurut dokter yang mengambil spesialisasi onkologinya di UNHAS ini, hampir semua pasien yang datang berobat padanya justeru sudah stadium lokal lanjut, "Padahal bila datang masih stadium awal kan tingkat kesembuhannya sangat tinggi."
"Tetapi yang jelas apapun jenis cancer atau kanker itu,  penyebab utamanya adalah  terjadinya mutasi gen. Dan  semua manusia punya gen. Dan bila terjadi mutasi itu maka terjadilah pertumbuhan sel yang abnormal yaitu tumor dan kanker. Dan penyebab mutasi itupun banyak. Ada yang sedari  lahir yang diturunkan oleh sel induknya atau dari orangtuanya. Dan itu banyak tetapi faktor resikonya cuma 15%. Yang 85% lainnya adalah akibat hormonal. Ini yang paling banyak. Bisa hormonal dari dalam tubuhnya sendiri atau dari faktor hormonal luar. Pada perempuan, hormonal penyebabnya banyak dari hormon estrogen. Nah kalau hormon ini sudah terpapar estrogen lama maka terjadilah mutasi gen itu. Sementara hormon luar, itu bisa dari faktor gaya hidup yang tak sehat. Itulah yang banyak terjadi pada kanker payudara. Dan itu sudah diteliti."
Patriotisme Seorang Dokter