Setelah berpisah puluhan tahun sejak dia gabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan menjadi Panglima GAM Wilayah Linge, satu pertanyaan kulontarkan seketika padanya saat bertemu kembali, "Jadi, bagaimana sebenarnya kisah terjadinya perdamaian antara GAM dan RI?", tanyaku di antara obrolan santai kita sambil ngopi-ngopi cantik kala itu. Karena Panglima GAM, Fauzan Azima, juga mantan Wartawan, maka dia menjawabku dalam sebuah tulisan. Berikut penuturannya yang ternyata terkait erat dengan SesJen Dewan Ketahanan Nasional MayJen Doni Monardo.
-----------------------------------
Suatu hari, tepatnya pertengahan Juli 2004, saya menerima seorang utusan dari Panglima GAM, Muzakkir Manaf yang mengabarkan bahwa Sang Muallim kami, Muzakkir Manaf, tengah berada pada posisi yang terjepit di sekitar Aceh Utara. Saya yang saat itu tengah bersama dua orang anggota pasukan, yakni Muhammad Gerhana dan Ungel, segera bergegas pergi ke lokasi untuk membantu Muallim.Â
Sayangnya, saat berada di perjalanan di daerah Bintang, Aceh Tengah, kami dikepung. Muhammad Gerhana syahid saat itu juga. TNI berhasil menyita satu pucuk senjata laras panjang double loop. Akibat dari pengepungan itu, saya berpisah dengan Ungel. Perlahan, saya bergeser ke Pasir Putih, Kecamatan Syiah Utama, kabupaten Bener Meriah.
Tanggal 22 Agustus 2004, sekitar pukul 14.00, saya bertemu dengan pasukan wilayah Linge di bawah gunung Batu Kapal. Kita terlibat pembicaraan ramah-tamah dan santap malam bersama. Sedang asyik kita bercengkerama, tiba-tiba terdengar letusan senjata SS1 dan rentetan bunyi M60 membombardir kami.
Ternyata pasukan TNI menemukan lokasi kami. Aku melihat Teungku Gele Bayak (Biro Penerangan), Aman Nanang, dan Sulaila (Inong Bale) tergeletak berlumuran darah. Syahid. Anggota pasukan Linge lainnya berlari ke hutan menyelamatkan diri. Aku sendiri masih sempat menyelamatkan kain sarung, Â buku catatan, sandal, dan memakainya sebelum lari pula menyelamatkan diri ke kegelapan hutan dipandu seorang anggota pasukan Linge.
Dalam kegelapan hutan, kami terpisah satu sama lain. Tetapi ajaibnya, beberapa hari kemudian, saya bertemu kembali dengan utusan Muallim untuk kedua kalinya. Maka kami segera berangkat menemui pasukan Pimpinan Teungku Salman alias Teungku Singa (Komandan Operasi GAM Â Wilayah Linge) yang stand by di Bukit Rebol, kecamatan Permata Bener Meriah untuk menjemput Muallim yang sedang berada di perbatasan Aceh Utara. Saat itu adalah bulan September 2004.
Bersama pasukan Teungku Salman, saya bergerak menjemput pasukan Muallim yang terdiri dari 16 orang anggota, diantaranya adalah Husaini Prangko, Ayah Man, Ayah Ija Krung, Petrus (Fadli Abdullah), dan beberapa anggota lainnya. Dari perbatasan, kami bawa Muallim ke Bukit Rebol. Di tempat tersebut, kami bertahan kurang lebih empat bulan.
Nahasnya, di suatu hari di bulan Desember 2004, seorang anggota pasukan tertangkap. Sehingga tak menunggu waktu lama, aparat keamanan pun mengetahui keberadaan Muallim yang sedang bersama kami. Terjadilah pengepungan besar-besaran di daerah Rebol. Kami dibom dengan meriam kodok dan pesawat Bronco.Â
Melihat situasi yang tidak mungkin bertahan lama lagi, kami meminta bantuan kepada Syaiful Cage untuk menyelamatkan Muallim dan mengungsikannya ke wilayah yang lebih aman. Sepanjang perjalanan kami dikepung pasukan TNI, dari darat maupun udara. Seingatku, itulah masa terakhir kalinya pasukan TNI menggunakan pesawat dalam menyerang GAM.
Setibanya di hutan Matang Gelumpang Dua dan Krueng Mane, Kabupaten Bireuen, kami menyerahkan Muallim kepada pasukan Syaiful Cage. Saat itu, saya sendiri belum bisa kembali ke Bener Meriah karena operasi pagar betis (sebuah sistem operasi militer yang dilakukan oleh tetara untuk memperkecil ruang gerak pemberontak dengan melibatkan masyarakat daerah konflik. Sistem ini digunakan pertama kali pada oprasi penumpasan DI/TII 1960-red) TNI belum berakhir dan terpaksa kami berputar-putar di kawasan hutan di wilayah Bateileek.