Berbicara tentang perempuan memang tak pernah ada habisnya, baik dari segi fisik, hobi, pencapaian, maupun gerakan-gerakan lincah dari berbagai penjuru dunia. Maraknya ucapan-ucapan hari perempuan sedunia /IWD (International Women's Day) yang beredar di berbagai sosial media menjadi suatu bentuk apresiasi tinggi atas segala pencapaian perempuan yang diperingati sehari dalam setahun, yakni pada tanggal 8 Maret. Merayakan hari perempuan sedunia itu artinya ikut serta mensyukuri upaya gerakan perempuan-perempuan masa lalu yang memperjuangkan haknya di tengah buruknya mayoritas. Munculnya ketidakseimbangan yang terjadi di kalangan masyarakat bersumber dari pemahaman yang seringkali disalahartikan, sehingga terjadi benturan-benturan yang disangkutpautkan dari berbagai label organisasi umat maupun ajaran kegamaan lainnya.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang masyarakatnya dikenal toleran oleh dunia, memiliki kemajuan satu tingkat di antara negara-negara tetangga lainnya dalam hal menghormati perempuan. Satu contoh yang bisa diambil, yakni semakin banyaknya kaum-kaum perempuan di ruang publik, memberdayakan dirinya sebagai manusia yang berdaya tanpa takut didiskriminasi oleh golongan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dan canggihnya teknologi membuat dunia semakin transparan seperti tak ada pembatas bagi setiap orang untuk unjuk gigi di berbagai tempat. Hal ini begitu meresahkan setiap orang yang tentunya memiliki nalar sehat dan tujuan pemikiran yang baik. Banyaknya kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan yang beredar di berbagai media membuat diri harus ekstra waspada terhadap orang-orang di sekitar tanpa harus memandang itu laki-laki, tua, maupun lainnya.
Kembali pada tema utama yang dibawa dalam IWD (International Women's Day) 2023, yakni #Embrace Equity (merangkul keadilan) itu artinya, setara dalam hidup berdampingan saja tidak cukup mewadahi setiap orang dalam satu bungkus kehidupan.
Jika hanya mempersoalkan urusan kesetaraan, saya pikir Indonesia telah jauh memikirkan perempuan untuk berada dalam satu matras yang sama dengan laki-laki, hal itu terbukti dengan suri tauladan lbu Kartini yang selalu menggaungkan tempat untuk perempuan, berkecimpung memikirkan kehidupan yang sejalan tanpa harus merasa ada yang tersingkir. Namun untuk memastikan pribadi tersebut mendapat
keadilan, hal itu belum sepenuhnya terbukti kongkrit menyentuh perempuan dalam berbagai lini kehidupan. Satu contoh dalam kehidupan berdampingan, seorang perempuan dianjurkan untuk patuh terhadap suami, dan ayahnya, itu karena merupakan suatu kewajiban yang dianjurkan oleh Allah SWT yang diajarkan dalam agama Islam. Hal tersebut jangan dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi terhadap suatu kaum, melainkan penghormatan terhadap ajaran agama yang dapat membawa kemaslahatan bagi keluarganya. Beda halnya dengan mereka (perempuan) yang masih berjuang menegakkan keadilan, karena hak-hak dasarnya tidak dihormati, seperti buruh perempuan yang merajalela tunduk patuh terhadap aturan pabrik, perempuan janda yang kerapkali mendapatkan labelling perebut suami orang, hingga perempuan nakal yang kerap meresahkan masyarakat, justru hal tersebut merupakan konstruksi masyarakat yang masih patriaki.
Sangat miris rasanya jika untuk setara saja perempuan masih dipandang sebelah mata oleh berbagai golongan, apalagi untuk merangkul dan mendapat keadilan bagi dirinya. Oleh karena itu Fatayat sebagai banom (badan otonom) Nahdlatul Ulama menjadi salah satu organisasi perempuan yang dipercaya sebagai perwujudan dari prinsip tawazun (berkeseimbangan) untuk ikut serta memberdayakan perempuan dari kualitas diri dan pemikiran agar tercapai beberapa poin dari tema Embrace Equity.
Perempuan itu wajib peduli dan cerdas, karena dunia terlalu keras jika hanya mengandalkan harta dan paras. Canggihnya teknologi memberikan ruang baru untuk setiap orang untuk mempertontonkan kemampuan diri demi meningkatkan daya saing dengan laki-laki, oleh karena itu peran media begitu signifikan memberikan pengaruh terhadap masyarakat tentang kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Mematangkan pribadi seorang perempuan lainnya merupakan satu kewajiban kita untuk menyelamatkan generasi masa depan, menyelami pemikiran perempuan lainnya merupakan satu bentuk tanggung jawab untuk merangkul keadilan agar tak disalahartikan, dan menggenggam tangan perempuan lainnya adalah satu bentuk untuk meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang berbeda, karena kebaikan dan kemajuan zaman di masa depan bergantung canggih dan pedulinya seorang perempuan yang saling menguatkan.
Luasnya wilayah dengan banyaknya adat, suku, serta agama yang berbeda membuat Indonesia semakin indah dengan keberagaman yang tersebar di berbagai penjuru. Melihat perempuan tak cukup disorot dari satu agama saja, berbagai persoalan yang dihadapi memiliki tingkat keruwetan tersendiri bagi kalangan masing-masing. Satu-satunya jalan adalah ikut serta mewadahi perempuan-perempuan lainnya untuk memberi pemahaman yang tidak merugikan.
Penulis : Irayatul Munawaroh (Kader Fatayat NU)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H