Hermeneutika adalah model pendekatan interpretatif terhadap teks-teks dan fenomena budaya. Kata "hermeneutika" berasal dari bahasa Yunani, yaitu "hermeneuein" yang berarti "menerjemahkan" atau "mengartikan." Kerap kali hermeneutika disandingkan dengan nama dewa dari mitos Yunani Kuno, yakni Dewa Hermes yang berperan menyampaikan pesan ilahi ke penduduk bumi. Demikian hermeneutika menjadi salah satu model penafsiran terhadap teks dalam upaya mendapatkan makna yang lebih mendalam.
Sejarah hermeneutika melibatkan evolusi konsep interpretasi dari zaman kuno hingga perkembangannya dalam konteks modern. Hermeneutika klasik menciptakan dasar-dasar untuk tradisi interpretatif yang lebih modern. Hermeneutika filologis dari Alexandria, pemikiran Aristoteles tentang sastra, dan kontribusi dari tokoh-tokoh Romawi menjadi bagian penting dari perkembangan hermeneutika yang lebih luas. Hermeneutika terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan teori dan konteks sosial. Dalam konteks modern, hermeneutika digunakan dalam berbagai bidang, termasuk sastra, teologi, filsafat, dan ilmu sosial.
Dalam Islam sendiri, sejarah hermeneutika mencakup tradisi pemikiran dan keilmuan Islam yang berkaitan dengan interpretasi dan pemahaman terhadap teks, terutama teks seperti Alquran dan Hadits. Pada awal sejarah Islam, penekanan utama atas pemahaman dan interpretasi terletak pada Alquran. Pemahaman Alquran dikembangkan melalui prinsip-prinsip tafsir dan takwil yang melibatkan unsur-unsur kaidah lughawi (bahasa Arab). Selain tafsir, prinsip-prinsip seperti ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi) juga digunakan sebagai metode interpretatif dalam menghasilkan istinbath hukum. Para ulama menggunakan metode ini untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip Islam dalam situasi-situasi baru. Nampaknya, pola-pola hermeneutika memang sudah berkembang dalam tradisi Islam klasik, meskipun belum dikenal dengan istilah hermeneutika. Apa yang dikatan Prof. Nasaruddin Umar (imam besar masjid Istiqlal) cukup mewakilkan bahwa hermeneutika Islam adalah nama baru untuk persoalan yang sudah ada sejak lama dalam Islam.
Jika merujuk pada buku “Islam Mazhab Cinta” karya Mukti Ali, dikatakan bahwa pola hermenutika Islam muncul dan dibawa oleh Nabi Muhammad sendiri. Menurutnya, Islam hanya bisa dipahami melalui tafsiran-tafsiran sang Nabi, karena hanya Muhammad yang mengetahui makna yang terkandung dalam teks-teks ilahi (wahyu). Pemaknaan Nabi Muhammad atas wahyu ilahi tersebut menjadi inspirasi secara personal, bagaimana pesan ilahi diejawantahkan dalam konteks realitas historis. Pertemuan kedua hal tersebut menunjukkan adanya suatu pola hubungan antara wahyu ilahi yang sifatnya trans-historis dengan dimensi trans-personal (spiritualitas) Nabi Muhammad dan realitas historis lingkungan sekitarnya.
Dari dimensi trans-personal dan trans-historis itu muncul suatu anggapan bahwa Islam mempunyai aspek esoteris. Anggapan tersebut kemudian memunculkan suatu diskursus keilmuan yang secara khusus mengkaji aspek-aspek esoteris ajaran Islam, yakni tasawuf. Kultur keilmuan dalam tradisi tasawuf selalu mengedepankan instrumen intuitif dalam menyingkap makna di balik tabir teks ajaran Islam. Bagaimana daya spiritualitas manusia menangkap maksud dan makna dari suatu teks ilahi yang kemudian diformulasikan ke dalam realitas kehidupan secara konkret. Nampak ada semacam pola yang saling berkaitan antara teks, daya personal, dan fenomena konteks historis dalam membumikan pesan-pesan ilahi tersebut. Di sini, tasawuf hadir bersamaan dengan model pembacaan atas dimensi esoteris Islam, yang menurut Mukti Ali disebut sebagai “Hermeneutika-Sufistik-Teofanik”.
Adapun hermeneutika dalam kajian tasawuf Islam melibatkan interpretasi dan pemahaman terhadap teks-teks klasik, khususnya teks-teks yang terkait dengan ajaran dan praktik tasawuf. Tasawuf, yang juga dikenal sebagai mistisisme Islam, merupakan dimensi mendalam dalam kehidupan spiritual umat Islam, dan hermeneutika digunakan untuk menggali makna-makna dalam teks-teks tasawuf. Misalnya karya-karya para sufi terkenal atau kitab-kitab yang membahas prinsip-prinsip tasawuf, sering kali memiliki dimensi simbolik dan metaforis yang dalam. Hermeneutika digunakan untuk menafsirkan makna-makna tersembunyi dalam teks-teks ini, membantu memahami aspek-aspek metaforis dan simbolis dari ajaran tasawuf. Hermeneutika membantu memahami simbol-simbol ini dan melibatkan proses interpretatif dalam merinci makna-makna yang tersembunyi di balik kata-kata atau kiasan yang digunakan oleh para sufi. Hermeneutika sufistik juga menekankan pentingnya memahami teks dalam konteks pengalaman pribadi. Para sufi sering mengajarkan bahwa makna-makna tertentu hanya dapat dipahami melalui pengalaman langsung atau rohaniah, dan hermeneutika dalam konteks ini memperhatikan dimensi eksperiential dalam interpretasi.
Hermeneutika sufistik menekankan pentingnya mencari keseimbangan dan konteks dalam interpretasi teks. Ini berkaitan dengan konsep keselarasan dan harmoni antara dimensi lahiriah dan batiniah dalam tasawuf. Dengan menggunakan hermeneutika dalam kajian tasawuf, para penafsir dapat mendekati teks-teks spiritual dengan lebih mendalam, memahami makna-makna tersembunyi, dan mengaplikasikan ajaran-ajaran tasawuf dalam konteks kehidupan sehari-hari dan perjalanan spiritual individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H