Mohon tunggu...
Agus Fredy
Agus Fredy Mohon Tunggu... -

Lelaki seperempat abad dengan satu istri dan dua anak. PNS Direktorat Jenderal Pajak

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Polisi dan Freeport : Potret Sikap Kita Terhadap Korupsi

31 Oktober 2011   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_145550" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Buntut dari sengketa antara para pekerja dengan manajemen PT. Freeport di Timika yang menuntut perbaikan gaji bagi para pekerja lokal ternnyata melebar kemana-mana. Tiba-tiba muncul berita bahwa PT. Freeport memberikan setoran kepada Polri senilai 14 juta dollar amerika per tahun. US$ 14.000.000 itu setara dengan Rp.130.000.000.000 apabila kita menggunakan kurs rata-rata Rp. 9.000 per dollar. Tentu itu jumlah yang sangat mencengangkan karena diberikan oleh sebuah perusahaan swasta kepada instansi resmi pemerintah secara berkala, setiap satu tahun. Tapi itu baru rumor, belum terbukti, dan entah apa ada yang berani membuktikannya.

Petang tadi, TV One melakukan wawancara dengan salah satu staf ahli Kapolri dan mengkonfirmasikan kebenaran tersebut. Sayang saya tidak mengingat dan tidak mencatat nama staf ahli kapolri tersebut. Dalam wawancara tersebut dinyatakan bahwa tidak ada uang dari PT. Freeport yang mengalir ke institusi Polri. Dan dia menyatakan bahwa Polri siap diaudit untuk mempertanggungjawabkan apabila ada aliran dana dari PT. Freeport ke Polri. Jawaban yang sudah kita duga dan memang seharusnya seperti itu, staf ahli melindungi dan membela bosnya.

Tapi kemudian keterangan berikutnya membuat saya sedikit menurunkan alis mata. Selama ini, kata dia, PT. Freeport meminta bantuan Polri untuk mengamankan lokasinya. Minimal sekitar 625 personil diturunkan untuk membantu mengamankan wilayah PT. Freeport. Dan untuk itu, PT. Freeport memberikan uang lauk pauk (ini istilah yang dipakai oleh staf ahli tersebut) kepada personil yang bertugas, masing-masing sebesar Rp. 1.250.000 per bulan. Pertanyaannya, wajarkah anggota Polri menerima uang tersebut ketika bertugas? Dia mengatakan wajar, kemudian menganalogikan dengan ketika bertugas di lapangan semisal mengamankan demonstrasi, maka masing-masing anggota pun akan mendapatkan uang makan sebesar Rp. 30.000. Maka wajar juga apabila ketika petugas Polri membantu mengamankan PT. Freeport mendapat imbalan sebesar Rp. 1.250.000 per bulan per personil. Pertanyaan berikutnya yang dilontarkan wartawan, apakah itu tidak termasuk gratifikasi? Dia menjawab dengan tegas, tidak. Gratifikasi itu, katanya kurang lebih, adalah uang yang diberikan kepada petugas untuk memaksanya melakukan sesuatu. Istilah gampangnya gratifikasi sama dengan suap. Sampai di sini, bukan saja alis saya yang mengkerut, tapi kepala mendadak pening dan migrain langsung kambuh. Pernyataan itu ada benarnya, karena menurut pasal 12B ayat (1) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 mengatakan, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,...”

Kata-kata “dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya...” itu dapat diartikan menjadi, pemberian itu baru disebut gratifikasi dan berdosa apabila ada unsur suapnya.  Pak staf ahli itu mungkin belum mengkhatamkan Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan KPK. KPK mengatakan dalam buku saku tersebut, “Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya”. Dari penjelasan itu maka jelas sudah bahwa pemberian dari perusahaan terhadap petugas negara adalah termasuk gratifikasi. Apalagi jumlahnya lebih dari satu juta rupiah dan diberikan rutin setiap satu bulan sekali. Idealnya, seharusnya, dan menurut peraturannya, para penyelenggara negara dari semua level tidak boleh menerima pemberian berbentuk apapun dari pihak luar apabila itu berhubungan dengan pekerjaannya. Mengapa begitu? Salah satu alasan kuatnya adalah menghindari konflik kepentingan yang akan muncul suatu saat apabila aparat tersebut harus mengambil tindakan kepada orang atau perusahaan yang pernah memberi hadiah kepadanya.

Dalam kasus PT. Freeport, polisi pun terlihat sudah mulai ikut campur dan tak netral lagi dengan berusaha mempengaruhi Serikat Pekerja untuk menerima tawaran negosiasi dari manajemen. Padahal tentu saja itu bukan tugas Polisi yang seharusnya hanya mengamankan dan tidak memihak salah satu pihak yang sedang bernegosiasi. Maka patutlah kita menduga bahwa sudah terjadi konflik kepentingan yang nyata antara Polisi dengan PT. Freeport yang selama ini sudah sangat baik hati kepada Polisi. Dugaan ini baru berdasarkan fakta bahwa PT. Freeport juga ikut menggaji polisi dengan jumlah nominal ratusan juta rupiah setiap bulan. Apalagi kalau nanti ada bukti bahwa memang terdapat aliran 130 miliar ke Polisi, tentu susah bagi kita untuk tidak menduga polisi menjadi beking PT. Freeport.

Salah Kaprah yang Umum

Sebenarnya kesalahkaprahan Staf Ahli Kapolri itu adalah sesuatu yang umum. Tentu kita pernah mengurus KTP, mengurus Kartu Keluarga, mengurus Kartu kuning untuk melamar pekerjaan, dan urusan-urusan lain yang hampir semua petugasnya meminta imbalan pada kita atas apa yang dikerjakannya. Dan itulah yang semakin menghancurkan negara kita. Bayangkan, betapa besar modal usaha di negara kita karena semua perijinan membutuhkan biaya dan dipenuhi dengan pungutan-pungutan liar? Belum lagi para aparat keamanan yang terbiasa dengan imbalan ketika memberikan pengamanan.

Kondisi gaji para pegawai negeri termasuk TNI dan Polri memang belum ideal. Tapi aturannya jelas. Bagi para penyelenggara negara, cukuplah gaji dan honor yang dibayar oleh negara untuk melakukan pekerjaannya. Polisi digaji untuk memberikan pengamana di wilayah NKRI, terhadap siapapun. Maka tak layak dan tak boleh bagi mereka untuk menerima imbalan apapun dari perorangan atau perusahaan.

Anda mungkin akan punya segudang alasan untuk mendebat peraturan ini. Tapi saya pribadi setuju dengan peraturan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun