Beberapa hari yang lalu selepas Subuh, ada broadcast yang mampir di BB istri saya dan mungkin juga banyak pengguna BB lainnya. Isinya adalah seorang ada seorang anggota DPR yang menampar petugas Bea Cukai di Bandara. Saya tidak tertarik bagaimana kejadian sebenarnya antara anggota DPR dan petugas Bea Cukai itu. Tapi yang menarik hati saya adalah, bahwa kejadian itu konon terjadi pada Maghrib, dan langsung tersebar luas ke seluruh pengguna BB hanya dalam beberapa jam berikutnya. Tak perlu verifikasi, bahkan tak perlu berpikir lagi untuk menyebarkan sebuah berita, apalagi berita tersebut menyangkut “kedzaliman” seorang anggota DPR. Dalam benak sebagian besar dari kita, anggota DPR merupakan penjahat, maka kalau ada “kejahatan” yang dilakukan anggota DPR, maka berita itu pasti benar dan layak disebaluaskan.
Beberapa hari ini, seperti sekuel sebuah film, muncul pemberitaan tentang DW, seorang PNS di Pemda DKI yang sebelumnya bekerja sebagai PNS di DitJend Pajak. Konon, DW yang istrinya bekerja sebagai PNS di DitJend Pajak tersebut memiliki rekening mencurigakan yang mencapai 60 Miliar. Atas laporan Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejaksaan kemudian menetapkan DW menjadi tersangka. Tak hanya melaporkan ke Kejaksaan, PPATK juga menyebutkan –yang kemudian diamini oleh media- bahwa kasus ini akan meledak seperti kasus Gayus Tambunan beberapa waktu lalu. Dan selayaknya Production House yang sedang memperkenalkan bintang baru, media kemudian beramai-ramai mengistilahkan DW dengan sebutan “The Next Gayus”.
Kemudian seperti diingatkan kembali tentang kasus Gayus, masyarakat biasa sampai para tokoh langsung beropini miring tentang Direktorat Jenderal Pajak. Bahwa DJP adalah tempat para tukang palak, bahwa para pegawai DJP adalah para koruptor, bahwa pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak akan masuk ke kantong pegawai pajak, bahwa anak-anak STAN itu merupakan anak-anak yang memang bercita-cita jadi koruptor, bahwa tidak usah membayar pajak karena tidak ada gunanya, dan lain sebagainya. Tak peduli apa sebenarnya kasus yang menjerat DW. Pokoknya DW adalah pegawai pajak (walaupun sebenarnya sudah pindah ke Pemda DKI), dan karenanya pasti sama dengan Gayus dan begitu pula semua pegawai pajak.
Maka ribuan pegawai pajak pun turun gunung meramaikan berbagai sosial media. Sama seperti kasus gayus yang meledak tiga tahun lalu, mereka tidak membela rekan mereka yang dijadikan tersangka. Namun mereka juga tidak ikut-ikutan menghujat sebelum ada kejelasan kasus dan alat bukti yang dimiliki Kejaksaan. Alasan Kejaksaan yang disampaikan kepada media hanyalah karena rekening gendut dan (mungkin) pencucian uang, yang kesemuanya dibantak oleh DW dan diukung oleh Laporan Kekayaan di KPK. Entah pasal apa yang digunakan sehingga orang yang punya banyak uang dijadikan tersangka. Kalaupun pencucian uang, belum jelas betul uang apa yang dicuci, apakah ada hubungannya dengan pekerjaannya yang dulu sebagai PNS di DJP. Mereka masih menunggu. Yang dijelaskan oleh teman-teman di DJP bukan masalah kasusnya, karena mereka juga tidak tahu. Yang mereka jelaskan lewat tulisan-tulisan, lewat twitter, lewat facebook, bahkan lewat komik, adalah tuduhan-tuduhan masyarakat terhadap mereka. Bahwa membayar pajak itu lewat bank dan langsung masuk ke rekening negara, sehingga tak akan mungkin dapat masuk kantong petugas. Bahwa reformasi di DJP sudah berjalan dan menunjukkan hasil yang lumayan, terutama dilihat dari peningkatan pajak yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah reformasi. Bahwa DJP hanya bertugas untuk mengumpulkan pajak sebagai sumber pendaanaan terbesar di Indonesia, sedang penyalurannya adalah tugas pemerintah dan DPR. Bahwa sangat banyak pegawai DJP yang benar-benar bersih, bahkan untuk makan dan minum di kantor, mereka harus iuran dipotong dari gaji mereka. Bahwa meski Gayus itu alumni STAN tapi tidak ada sama sekali pendidikan di STAN yang mengajarkan untuk menjadi seorang maling. Bahwa silakan saja memboikot untuk tidak membayar pajak karena kewajiban membayar pajak adalah kewajiban yang diatur Undang-Undang Dasar 1945, bukan diwajibkan oleh DJP. Dan penjelasan-penjelasan lain yang sangat melelahkan. Tidak hanya di jejaring sosial, di lingkungan tempat tinggal juga harus menjelaskan dengan penjelasan serupa yang sebenarnya sudah dijelaskan berulang kali.
Dan Dirjen Pajak pun harus menyemangati para pegawainya karena pemberitaan di media berpotensi untuk mendemotivasi para pegawai pajak. Bukan karena ketakutan akan ditangkap Jaksa atau KPK, tapi karena tuduhan sadis dari masyarakat yang gebyah uyah dan tak suka mengunyah. Mereka menggeneralisir dan menelan apapun yang disajikan oleh media, meski belum tentu baik dan belum tentu bergizi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H