Pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini masih dinilai gagal mengembangkan apresiasi sastra. Kegagalan ini sebenarnya telah lama dikeluhkan oleh H.B. Yassin sejak tahun 1970-an. Dua puluh tahun kemudian, keluhan itu masih juga muncul, antara lain dari Sapardi Djoko Damono dan Taufiq Ismail.
Dalam sebuah percakapan di istirahat pada Pertemuan Ilmiah Nasional V Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia tanggal 15 – 17 Desember 1992 di Bogor, Sapardi Djoko Damono mengemukakan bahwa pengajaran sastra di sekolah masih memprihatinkan. Dikemukakannya pula, hendaknya pengajaran sastra di sekolah diajarkan seperti pengajaran kesenian lainnya. Sementara itu, Taufiq Ismail pada Kongres Kesenian tahun 1995 mengungkapkan bahwa pengajaran sastra di sekolah belum seperti yang diharapkan karena masih disatukannya pengajaran sastra dengan pengajaran bahasa, dan pengajaran sastra hanya menjadi bagian kecil dari pengajaran bahasa. Lebih lanjut Taufiq Ismail mengusulkan agar pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa.
Kini, sepuluh tahun kemudian, kritik dan saran perbaikan dua tokoh sastra Indonesia tersebut belum ada pemecahannya. Di samping itu, gaung keterpencilan, kemandegan, ketersia-siaan, bahkan pelecehan sastra masih terus terdengar. Semua yang dikemukakan di atas muncul dari adanya asumsi, atau bahkan kenyataan, bahwa sampai sekarang minat, perhatian, penghargaan, dan tingkat apresiasi sastra masyarakat masih sangat rendah, termasuk pula dalam hal ini para guru bahasa yang selama ini menjadi tempat nebeng bagi pengajaran sastra.
Rendahnya minat, perhatian, penghargaan, dan tingkat apresiasi sastra masyarakat itu disebabkan oleh berbagai hal, antara lain kurangnya minat baca terhadap sastra, hilangnya simpati masyarakat terhadap mereka yang terjun ke dunia sastra, serta belum ditemukannya metode paling tepat dalam membina apresiasi, kreasi, dan ekspresi sastra.
Realitas di atas tentu merupakan hal yang tidak menggembirakan, dan karena itu perlu ada langkah-langkah yang bersifat pragmatis dalam rangka mendukung iklim kondusif yang kreatif di lingkungan pelajar Muhammadiyah. Atau setidak-tidaknya perlu adanya upaya agar para pelajar Muhammadiyah yang berminat dan memiliki bakat kreatif yang “terpendam” di bidang apresiasi sastra terdorong untuk mengaktualisasikan bakat dan potensi kreatif yang dimilikinya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H