Mohon tunggu...
Fata Azmi
Fata Azmi Mohon Tunggu... Guru - Belajar, Berlilmu, Bermanfaat

Guru Sekolah Dasar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Apa yang Akan Kita Warisi

11 Desember 2020   13:52 Diperbarui: 11 Desember 2020   13:56 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hidup di zaman apakah aku ini? aku melihat arogansi dan keakuan dipertontonkan setiap saat, aku mendengar dan membaca umpatan dan celaan bertebaran semaunya baik di dunia nyata maupun dunia maya, aku merasakan jarak sesama manusia semakin jauh entah karena dijauhkan atau kita memilih untuk saling menjaga jarak karena sudah terlalu kenyang dengan ketidakpercayaan.

Aku terkadang menatap sinis hari esok yang belum hadir, karena hari ini dengan mudah kita mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukan, mencari kambing hitam selalu trending dalam pergaulan, lebih menjengkelkannya lagi kita dibiaskan dengan kebenaran karena jika ada yang berkata benar ditempat yang sama selalu turun hujan makian dan cercaan oleh makhluk entah darimana asalnya. Kita dipaska berhati-hati dengan saudara sendiri, asli dan palsu semakin menjadi misteri.

Aku membayangkan bagaimana jika situasi ini berkelanjutan, setiap bangun pagi narasi yang hadir adalah kebencian dan berbalas dendam, berita yang terdengar adalah penindasan dan keserampangan, saling merasa mejadi langka, cinta menjadi tabuh, pesimisme memamah biak. Aku benci jika neraka dihadirkan terlalu cepat.

Apakah situasi seperti ini yang akan kita wariskan ? Atau inginkah kita jika generasi setelah kita tiada berkata :

Betapa bahagianya aku ini, aku melihat cinta dan kasih sayang dipertontonkan setiap saat, aku mendengar dan membaca pujian dan penghargaan bertebaran baik di dunia nyata maupun dunia maya, kritik dan teguran dijadikan sapaan sayang sesama manusia, aku merasakan jarak sesama manusia semakin dekat karena saling percaya dan menghormati, kita dididik untuk saling bersimpati dan berempat dengan siapapun di alam semesta ini.

Aku selalu menatap optimis hari esok yang belum hadir, karena hari ini dengan mudah kita saling mendegar dan merasakan, kita dibanjiri tokoh dan figur yang memberikan kedamaian dan ketentraman dalam pergaulan, lebih membahagiakannya lagi kita dibiasakan dengan kebenaran dan keadilan karena jika ada yang berkata benar kita amini, jika ada yang berkata keliru maka tersedia ruang dialog untuk saling mengingatkan dan menyamakan pandangan toh kalaupun tetap berbeda pandang kita diajarkan untuk saling memaklumi, Kita menjadi saksi bahwa kita adalah  bersaudara walau dalam perbedaan agama, pandangan, latar belakang dan lainnya.

Aku membayangkan bagaimana jika situasi ini selalu hadir di setiap zaman, setiap bangun pagi narasi yang hadir adalah cinta dan kebahagiaan, berita yang terdengar adalah kemajuan peradaban manusia, saling merasa mejadi fakta, cinta tumbuh subur di setiap musim, optimisme memamah biak. Aku bersyukur ternyata surga dapat dihadirkan begitu cepat.

Apa yang akan kita warisi tergantung seberapa jauh perjuangan diri kita pada hari ini. Tuhan telah memberikan segala potensi untuk kita gunakan, pilihan ada di tangan kita, apakah potensi itu bermuara pada hadirnya kebahagiaan atau malapetaka bagi umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun