Mencipta gerak sesumbar pada mekar bunga mawar, ballerina flats hijau tosca bersilangan di sela rerumputan. Rambut hitam lurus panjangyang baru saja ku ganti dengan cornrows berwarna pirang, membuat semua mata langsung menatap ke arahku. Aku tak peduli, sudah biasa menjadi pusat perhatian. Mataku berkeliaran mencari mangsa, sedari tadi penghuni perutku sudah demo minta diberi asupan gizi. Dae Jang Geum, membacanya saja sudah seperti masuk ke dalam istana Gyeongbok apalagi mengingat masakan-masakan ala Korea seperti yang ada dalam serial drama korea yang sering diputar di salah satu stasiun televisi swasta. Restoran yang sengaja khusus di desain seperti bangunan khas Korea beratap susun seperti kuil dan berdinding batu ini membuatku ingin segera mencicipi kimchi dan bulgogi yang sedang marak diminati penikmat masakan negara gingseng itu. Dengan t-shirt berwarna biru terang dipadu cardigan senada dan long shorts berbahan jeans membuat pelayan-pelayan cantik berwajah oriental yang menggunakan hanbok memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu menerka-nerka siapa perempuan yang seperti familiar di mata mereka.
“Annyeong haseyo,” pelayan-pelayan ramah itu membungkukkan badannya sebagai salam hormat.
Aku hanya tersenyum. Tiba-tiba salah seorang perempuan cantik bertubuh mungil menghampiriku.
“Boleh foto bareng?”tanya perempuan dengan hanbok berwarna peachpuff dengan motif garis-garis berwarna fuchsia.
“Boleh, silakan,”kataku merekahkan senyum.
“Ganti style rambut, Mbak?”
“Oh, iseng aja.”
“Kalau sudah dasarnya cantik, mau bergaya dengan style apa saja pasti tetap terlihat anggun,” katanya sambil menyuruhku mengikutinya menuju tempat duduk.
“Mau yang VIP atau di ruang terbuka saja, Mbak?” tanya perempuan dengan id-card bertuliskan Gladis di dada sebelah kirinya.
“Di sana saja,” aku menunjuk tempat duduk di sudut ruangan.
Desain interior yang menonjolkan pengulangan bentuk seperti garis-garis pada dinding partisi atau perabot berbentuk persegi dan lingkaran; menggambarkan keseimbangan.
“Mau pesan apa?”
“Gimbab, bulgogi, kimchi, dan ddeokbokki,” kataku sambil membayangkan makanan-makanan yang sepertinya sudah lama sekali tak ku santap.
“Minumnya?”
“Seperti biasa.”
“Hyeonmi,” kata perempuan yang masih lekat dengan cengkok melayunya.
Dulu, aku sering mampir kemari. Bersama lelaki yang tak pernah absen menemaniku menari. Katanya, aku terlihat makin cantik setiap hari. Nyanyian-nyanyian berisi pujian yang tak henti-hentinya mengelilingi. Aku dengan segala kekurangan yang tak ada habisnya. Tapi bagi laki-laki yang terbiasa berhadapan dengan laptop di ruangan sunyi, perempuan sepertiku yang tanpa riasan dengan kaos dan rambut acak-acakan saja sudah sangat menarik. Dia tidak peduli perutku makin buncit atau kulitku menghitam terkena sinar matahari. Baginya, senyumku adalah udara yang hangat saat napasnya mulai tersengal-sengal; kelelahan.
“Masitge deuseyo,” selamat menikmati katanya dengan senyum yang renyah.
“Jal meokgessseumnida,” jawabku sebisanya.
Aku masih samar-samar ingat, saat lelaki—yang entah milikku atau bukan—menggunakan bahasa Korea saat makan di tempat ini. Makanan-makanan yang ku pesan tadi bukan makanan kesukaanku, melainkan hidangan “wajib” yang ia pesan dulu. Aku menyedu teh dari beras yang dipanggang, begitu dulu ia menjelaskan teh favoritnya padaku. Ada kehangatan yang menyeruak saat menikmatinya, seperti ada lelaki itu di sekitaranku.
***
“Ada apa ini? Apa gempa?” aku mulai bermonolog.
Dunia seperti berputar-putar. Merayang tak keruan. Tiba-tiba degup jantungku makin cepat, seperti dikejar malaikat maut. Ah, ada apa ini. Aku bisa merasakan, perlahan-lahan tubuhku merangup; jatuh ke lantai. Tergeletak, menunggu seseorang datang mengulurkan tangannya. Membopong tubuhku yang beringsut mengkerut.
“Hey, kalian mau kemana? Tolong, aku benar-benar tidak bisa bangun,” aku meminta bantuan pada mereka—dua insan yang kerap menyuguhiku dengan pemandangan penuh cinta—tapi mereka tak menoleh sedikit pun, pergi begitu saja; acuh tak acuh.
Sudah dua hari aku masih saja di sini, tak punya daya untuk berpindah tempat; bergerak. Di petak yang sama, marmer berwarna merah bata dengan aksen garis berwarna gelap. Aku bisa merasakan dinginnya menyelap senyar. Kemana perginya orang-orang? Mengapa tak satu orang pun menolongku atau setidaknya membenahi posisiku. Sebegitukah mereka tak peduli lagi padaku? Kemana perginya penggemar-penggemarku yang selalu antre hanya untuk mendapatkan tanda tangan berbentuk benang kusut dari goresan tangan seorang yang kidal. Kemana saja yang mengaku mencintaiku? Menggilaiku? Begini ya, begini ternyata kehidupan yang sebenarnya. Penuh dusta; sandiwara.
“Anda menderita gangguan delusi.” dokter muda berambut keriting itu membuatku terenyak. Apa lagi itu, delusi?
“Delusi?”
“Iya, semacam pikiran yang biasanya ditimbulkan oleh pangalaman-pangalaman masa lalu yang diliputi perasaan-perasaan berdosa dan bersalah, serta harapan-harapan yang belum tercapai,” dokter memberiku penjelasan.
Harapan-harapan yang belum tercapai, mengaung keras memecah kepalaku. Mengaung tak henti-henti.
“Tidak mungkin, Dok. Saya tidak suka berhalusinasi,” aku menyangkal, mana mungkin seorang perempuan super sibuk sepertiku yang memiliki segalanya bisa menciptakan fantasi. Aku tidak punya waktu untuk berkhayal.
“Sebaiknya Anda beristirahat total, menenangkan pikiran, atau lebih bagus lagi untuk merelakan seseorang yang Anda cintai.”
“Maaf Dok, tapi saya kemari bukan untuk menyuruh dokter mengurusi kehidupan pribadi saya, terima kasih. Permisi,” aku sedikit geram, tidak mengerti apa maksud perkataan dokter itu. Sok tahu.
Sepanjang jalan, kalimat terakhir dokter berkulit coklat terang itu masih memutari otakku. Apa mungkin yang selama ini ku lihat adalah bayanganku sendiri bersamanya—lelaki yang meninggalkanku pada suatu malam di musim hujan—mustahil, batinku.
Aku mengucek-ucek mataku, masih tidak percaya bayangan itu muncul lagi. Lelaki idaman dengan wajah yang makin tampan, menggandeng mesra perempuan di sampingnya. Tapi mengapa perempuannya tidak seperti yang biasa, bukan seperti wajahku dulu. Hidungnya mancung dipertegas mata bulat berwarna hitam. Tidak asing, tetapi sudah berkali-kali ku perhatikan tetap saja bukan seperti gambaran diriku seperti biasanya. Memori-memori itu mencuat bermunculan; masaku dulu bersama lelaki itu. Aku mencubit lengan kananku, berharap bayangannya cepat-cepat menghilang. Semakin dekat, lelaki yang kini tampak lebih berisi dengan dada tegap makin jelas terlihat di pelupuk mataku.
“Fara, lama nggak ketemu,” bayangan itu menjulurkan tangannya, hendak bersalaman denganku.
Ah, delusi macam apa lagi yang bahkan bisa menyapaku. Tampak seperti benar-benar nyata. Aku yang gila atau sedang terjadi apa sebenarnya? Aku megikuti arus angin, tersenyum membalas sapaannya dengan batas pandang yang makin dekat.
“Oh, iya, ini istriku,” katanya sambil memberi kode pada perempuan di sebelahnya.
“Gladis,” perempuan itu mengulurkan tangannya.
Aku tercengang, selingar terdiam. Berharap dokter itu benar, yang kali ini memang benar-benar hanya delusi.
http://fasihhradiana.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H