Mohon tunggu...
Fasih Radiana
Fasih Radiana Mohon Tunggu... -

Kalimatku sederhana, hanya ingin berbagi cinta lewat sederet kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Tak Semua Bisa Mengerti Kita

24 Agustus 2012   07:39 Diperbarui: 6 Juli 2015   05:00 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Heran, cuma benar-benar bingung apa salahku. Mengapa keadaan masih saja selalu membuatku merasa tertohok. Setidaknya bisa kan Kau jelaskan? Tidak perlu secara rinci, sedikit saja agar membuat lambungku berhenti merintih karena perih. Kalau begini terus, aku butuh berapa banyak lagi obat untuk tetap merasakan tenang. Aku butuh obat penenang.

Apa perlu setiap malam hanya menghabiskan airmata yang mendengungkan kalimat-kalimat retorik, bertanya pada siapa? Karena tak ada suara yang menjawab. Apa kamu tau, aku tidak sedang membicarakan cintamu padaku, atau hatiku untuk kau miliki. Ini bukan melodi berirama cinta, cinta yang kerap diagungkan manusia. Bukan, bukan tentang hal semacam itu. Ini tentang hati dalam porsi yang lain, hati yang bukan untuk dipenuhi cinta siapa saja.

Hinamu itu, pujianku. Percayalah, aku tak semudah itu kau jatuhkan. Kalau memang ingin, aku bisa membunuh cacianmu sekarang juga. Itu juga tak mungkin membuatku menyelipkan rasa benci di dadaku. Menyimpannya untukmu, bukan sesuatu untukku. Aku tak sedang ingin bercumbu dengan asmara. Beri saja aku waktu untuk sendiri, mengembalikan apa yang tak juga kembali. Hening yang melegakan, diam yang menenangkan. Kemana larinya? Mengapa begitu cepat. Langkahku terhenti di sepertiga tanjakan terakhir. Aku kehilangan arah, habis sudah.

Aku diam bukan berarti menyuruhmu meninggalkan, atau mengartikan sesuka hatimu. Aku tau jalan setapak ini terlalu hitam  untuk di langkahi. Tapi apa pedulimu? Apa yang mereka lihat, bukan untuk memahami lelahku, hanya sekedar ingin tau. Tak lagi mengharu biru, hanya selubung tawa bersanding lecutan pilu. Kian menyesak, makin tinggi menyeruakkan hadirku makin tak tau malu. Aku mau, aku mau berhenti memicu apa yang menjadikannya rancu.

Cukup, aku tau betul, Aku pun tak bisa memaksamu. Aku tak kan mampu membuat semua mata yang mengarah padaku untuk bisa mengerti perasaan dan keadaanku. Aku saja, biar aku saja yang mencoba tau diri, menempatkannya pada posisi yang tak perlu perhatian apalagi belas kasihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun