Maaf, Bu. Maaf karna kata maaf pun membisu di bibirku.
Maaf, Ayah. Karena sakit di dadamu itu bagian yang selalu saja ku masukkan setiap hari.
Maaf, karena anakmu ini selalu gagal menyimpan amarahmu.
Anakmu ini tak pernah berhasil menyeka tangis dalam matamu.
Maaf, aku gagal menjadi anak yang baik menurut pandanganmu.
Aku tau betapa dalam sakit menusuk rusukmu, saat aku memalingkan wajah hanya karna aku sedang malas berbicara.
Aku mengerti, lebam yang merangsuk tertiup duri saat anakmu tak menghiraukan teguranmu.
Maaf, Bu.
Maaf karna yang paling sederhana pun tak bisa ku kerjakan. Melengkungkan senyum di tepian bibirmu.
Aku paham, betapa besar amarah meradang di jantungmu, yang sengaja kau redam.
Melihat anakmu tak mengindahkan tawa di raut wajahmu.
Saat kerja kerasmu berserimbah peluh, menjadi sia-sia karna aku tak mampu meluruhkan keluhanmu. Maafkan aku, Ayah.
Yang paling mudah pun tak bisa ku lakukan. Menciptakan ketenangan di jiwamu.
Andai saja aku tahu caranya, andai saja aku bisa.
Aku ingin menghapus segala gundah yang menggelisahkan hatimu.
Tentang anakmu yang tak kunjung membuatmu bahagia, atau anakmu yang tidak juga menjadikanmu bangga.
Tuhan, datang padaku.
Ajari aku memperbaiki retakan di dada Ibuku,
mengembalikan senyum di sudut dalam bibirnya.
Tuhan, rengkuh aku. Beritahu padaku, caranya mengubah lelah di sela kecewa milik Ayahku, menjadikan bangga diantara bahagianya.
Untuk Ibu dan Ayahku, maafkan anakmu,
yang selalu memaksamu meliarkan amarah yang menahan tangis.
Maafkan aku, yang belum berhasil melukiskan senyum karna memiliki aku,
anakmu.
www.fasihhradiana.blogspot.com and (@Fasihrdn)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H