Ulang tahun adalah hari istimewa untuk setiap insan manusia. Ketika manusia lahir, ia adalah manusia terpilih, khalifah di muka bumi ini yang telah memenangkan sebuah pertempuran memperebutkan posisi pertama sebagai calon manusia utuh dari ratusan juta calon manusia lainnya untuk kemudian lahir dengan selamat ke dunia. Tentu menjadi sebuah keistimewaan bagi setiap manusia yang lahir, bahwasanya “aku lahir ke muka bumi ini dengan suatu kemenangan yg luar biasa”. Betapa kerennya kita sebagai manusia, betapa bangganya kita lahir sebagai juara.
Betapa bahagianya hari itu. Seorang pemenang telah lahir, menggenapi kebahagiaan setelah menunggu sembilan bulan di kandungan dan pertaruhan nyawa untuk menebus kelahirannya. Walaupun tidak mudah untuk mendekap tubuh mungil itu, hari itu adalah hari penuh kebahagiaan. Hari kelahiran, hari penuh suka cita yang terulang setiap tahun kecuali bagi orang yang lahir tanggal 29 februari yang harus menunggu 4 tahun untuk merayakannya(?). Dimana ulang tahun identik dengan suatu perayaan, dilakukan dengan bersenang-senang dan bergembira, baik bagi yang ber-ulang tahun maupun yang merayakannya. Adapun tangis mengandung arti kebahagiaan, haru.
Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku, 8 maret. Sebagai anak seharusnya sudah menjadi kewajiban untuk sekedar mengucapkannya, hal lumrah yang terjadi di masyarakat seluruh dunia ketika hari itu tiba kepada orang-orang yang berada di dekatnya.
Tetapi sebagai anak dan manusia yang baru hidup 20 tahun, yang dipenuhi teori-teori sejarah, haruskah aku berbahagia menyambut hari kelahiran? Hari istimewa manusia di setiap tahunnya. Ada dilema tersendiri ketika aku merenung dan berpikir untuk mengucapkannya walaupun hanya, selamat ulang tahun.
Ketika umur mulai bertambah manusia akan semakin dewasa, menandakan waktu yang berjalan telah menempuh usia sekian dan sebanyak sekian, artinya ia semakin tua.
Haruskah kita berbahagia dan bersenang-senang merayakannya?
Usia tua, menunjukkan waktu yang semakin pendek, walaupun umur tidak ada yang tahu, tetapi sudah menjadi kepastian tidak ada yang abadi di dunia ini. Semakin tua semakin dekat kita pada yang kuasa dan semakin jauh dari kehidupan di dunia.
Belum saja di panggil yang kuasa karena merupakan rahasia ilahi, kita saja di dunia yang sudah pasti pun susah untuk dekat atau sudah mulai menjauh. Bukan karena tidak ingin, tetapi keadaan yang menuntutnya, umur yang semakin beranjak bertambah, tidak mungkin membuat kita selalu berada di sisi ibu. Ada kehidupan yang harus kita jalani, peperangan kita sebagai manusia bukan berhenti ketika kita telah lahir sebagai pemenang, tetapi ketika kita lahir pertempuran baru telah di mulai because World is a real game.
Dan karena itu waktu yang kita habiskan bersama sosok ibu semakin berkurang pula. Mungkin dimana sosok ibu selalu ada, setiap malam selalu di lihat wajahnya sebelum tidur, pagi hari ketika terbangun adalah sekitar 13 tahun. Dari 13 tahun itu, ibu yang selalu ada untuk kita hanyalah sekitar 2-3 tahun. Selebihnya kita telah asyik mengenal dunia yang lebih baru.
Betapa pendeknya waktu, dan berapa lama lagi yang tersisa?
Realita itu pedih, kenyataan begitu pahit tetapi harus tetap kita jalani sebagai manusia sejati. Umur boleh saja terus melaju, tetapi InsyaAllah do’a ini akan selalu mengalir mendoakan kebaikan di dunia dan akhirat, mendoakan keselamatan dunia akhirat dan mendoakan akan selalu kebahagiaan dan kemudahan di dunia akhirat.