Di sisi lain, tato banyak digunakan sebagai identitas diri maupun kelompok, seperti contoh di Jepang dengan kelompok Yakuza, atau orang-orang mentawai dengan tato ciri khas tatonya untuk pembeda dengan suku lain juga sebagai status sosial. Tato tersebut sebagai simbol jati diri suku dapat menjelaskan dari mana seseorang berasal, seperti tergambar lewat motif durukat di bagian depan dada pria dan dapdapi di bagiandada perempuan. Namun demikian, pada masing-masing wilayah kekuasaan suku terdapat perbedaan dalam bentuk simbolnya. Sementara, tato sebagai tanda kenal pribadi menyiratkan kemahiran atau kepiawaian seseorang.
Kekerasan menenai tato juga terjadi pada tataran simbolis (kekerasan identitas). Pada kasus kekerasan simbolis, tato sering dipandang sebelah mata atau bahkan dimarjinalkan dengan satu sudut pandang tertentu. Tato sering dilihat sebagai identitas tunggal dan menutup mata untuk melihat identitas lain dari seorang yang bertato. Padahal bukan tidak mungkin jika orang bertato tersebut memiliki sikap yang baik. Pada level yang lebih kekerasan ini juga muncul pada ranah struktural. Masih banyak peraturan mengenai pegawai negeri yang dilarang bertato, walaupun tidak menutup kemungkinan juga orang yang berato juga memiliki kompetensi yang mumpuni. Ini masalah kode etik kata beberapa orang. Tapi apakah memenggal hak asasi seseorang merupakan kode etik yang terus dipertahankan?.
Dari munculnya beberapa kecenderungan tersebut, akhirnya memicu gerakan-gerakan anti kemapanan dan gerakan indie yang bersuara keras menyuarakan kegerahan mereka terhadap peraturan-peraturan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka.Dari pergerakan-pergerakan tersebut, mulai muncul kolektif-kolektif tato sampai studio tato. Bahkan upaya lebih untuk 'pelebaran sayap' kancah tato juga dilakukan dengan mengadakan acara festival. Tidak sampai disitu saja, acara-acara tersebut dibuat juga sebagai upaya untuk mengedukasi masyarakat luas mengenai tato.
Tato kini telah menjadi industri yang cukup diperhitungkan. Perputaran ekenomi di dalam seni ini sudah ada dalam tahap global. Tato sudah menjadi komoditi yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi makmur. Jika kata Ibrahim dan Akhmad, ini adalah sebuah proses komodifikasi yang merupakan perubahan dari nilau guna menjadi nilai tukar (2014: 18). Tato yang awalnya mamiliki nilai guna sebagai budaya tinggi di setiap daerahnya, kini tato menjadi lahan bisnis yang menjanjikan.
Kesimpulan
Sejak awal kemunculannya, tato merupakan sebuah budaya tinggi yang dilakukan untuk acara dan orang-orang tertentu saja. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tato melebur menjadi budaya populer. Karena tato sudah menjadi konsumsi massa, tato menjadi multitafsir. Masih banyak pendapat negatif yang terbangun dari rezim orde baru yang menurunkan derajat tato setara dengan tindak kriminal. Namun juga semakin banyak yang dapat menerima keberadaan tato sebagai gaya hidup masyarakat urban.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya praktik tato ini adalah sebuah praktik yang melibatkan tubuh secara personal. Sehingga, praktik tato ini tidak dapat dimarjinalkan dengan sudut pandang tertentu.
Pustaka
Anggraeni. 1994. “Melacak Tradisi Tato pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia”. Dalam Sumijati Atmosudiro, Anggraeni. Dan Tular Sudarmadi.Jejak Budaya
Haryatmoko. 2016. Membokar Rezim Kepastian.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Hatib Abdul Kadir Olong. 2006. Tato.Yogyakarta : LkiS