Mohon tunggu...
Faruza Arkan
Faruza Arkan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tato, Urusan Tubuh Personal

17 Mei 2016   20:04 Diperbarui: 17 Mei 2016   20:41 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Tubuh merupakan obyek konsumsi paling indah, Keindahan tubuh menjadi obsesi utama orang-orang narcisik. Bahkan menurut Baudrillard, tubuh menggantikan jiwa dalam fungsi moral dan ideologi (Baudrillard, 1970: 199-200; dalam Haryatmoko, 2016: 77)”

Kutipan diatas mengantarkan saya pada sebuah pertanyaan tentang bagaimana orang memaknai tubuhnya sebagai objek berharga yang harus selalu dijaga? Dan bukankah tubuh itu sebuah objek yang sangat personal untuk dicampuri urusannya dengan tubuh lain?

Jika menurut kutipan Haryatmoko (2016) di atas, ketika tubuh menjadi objek paling indah,besar hasrat setiap orang untuk tetap menjaga keindahan tubuhnya atau bahkan meningkatkan terus-menerus keindahan tubuhnya. Tidak lain, tujuan dari usaha tersebut adalah untuk menunjukkan siapa dia diantara orang lain. Banyak usaha yang dilakukan untuk menambah, mengurangi, mengubah, bahkan mengatur bagian tubuh kita yang sudah secara alami tercipta dengan sempurna. Mulai dari mengecat rambut, memasang tindik di beberapa bagian, dan bertato. Semuanya dilakukan demi membuat dirinya lebih percaya diri dengan identitas barunya.

Kali ini, saya coba menyoroti kegiatan seni rajah tubuh atau lebih familiar dengan tato. Mencoba menilik sedikit sejarah mengenai seni rajah tubuh ini, bahwa Indonesia sendiri sudah mengenal kegiatan ini sejak sekitar awal masuknya masehi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai dekorasi penggambaran figur manusia yang terdapat pada beberapa kendi tanah liat dan perunggu di beberapa kepulauan Indonesia. Sementara, barang yang diduga digunakan sebagai peralatan penatoan, berupa berbagai jarum dari tulang hewan mamalia, ditemukan di berbagai gua di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan (Anggraeni, 1994:139-154). Dulunya, tato merupakan sebuah seni tinggi yang hanya dilakukan oleh beberapa orang saja seperti kepala suku atau seorang putra suku yang beranjak dewasa. Tato juga biasa digunakan dalam ritual-ritual adat.

Namun tato dulu dan kini memang sudah berbeda. Dulunya tato dinilai sebagai budaya tinggi, sekarang tato sudah masuk berbaur dengan budaya populer (pop). Budaya pop merupakan dialektika antara homogenisai (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman) (Strinati, 2003 : 44-45). Tato kini menjadi konsumsi gaya hidup yang bersifat maskulin.

Seni rajah tubuh ini merupakan sebuah praktik yang berada dalam ranah personal, namun saat ini keberadaanya masih di area pro dan kontra. Masih banyak orang yang belum bisa menghapuskan stereotip mengenai hal buruk tato yang terbentuk pada rezim orde baru. Petrus atau penembak misterius (1983-1984) merupakan salah satu pemicu munculnya wacana buruk tato. Praktik tato direndahkan derajatnya hingga setara dengan tindak kriminal (pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, preman, gali, dll).

Wacana buruk ini makin diperkuat dengan ikut sertanya peran media dalam mengkonstruksi pemikiran masyarakat mengenai tato. Ya, memang media dengan praktik politik merupakan rantai yang tidak dapat dilepaskan, karena akan selalu ada kepentingan-kepentingan penguasa politik yang dipaksa hadir.

Begitu besarnya pengaruh media hingga kini, kehadiran tato semakin multitafsir. Perannya dalam berbagai bidang akan dimaknai berbeda-beda sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Masyarakat suburban cenderung masih menggunakan stereotip negetif tentang tato, sedangkan masyarakat urban atau perkotaan lebih terbuka dengan konsep tato sekarang bahkan cenderung telah menjadi gaya hidup.

Tato sudah menjadi tren dikalangan anak muda dengan label 'kekinian' dan pada akhirnya sekarang tato menjadi komoditi yang dapat menjalankan roda perekonomianya. Titik pacunya adalah reformasi Indonesia, yang menghadiran kebebasan dan liberalitas yang tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan sadar hukum dan aktivis politik saja, melainkan kebebasa dalam berekspresi juga dirasakan oleh kaum urban juga. Salah satu bentuk nyata yang dilakukan adalah kian merebaknya tato dan menjadi simbol yang dapat ditafsirkan bermacam-macam, dari sekadar ikut-ikutan, pemberontakan, ekspresi, dan rasa seni.

Kekerasan Identitas dan Komoditi

Tato memang sangat dekat dengan citra yang keras (maskulin). Kesan tangguh, macho, sangar, menjadi gambaran tentang orang yang bertato. Banyak produk-produk di pasaran yang memanfaatkan orang bertato sebagai model iklannya untuk mendapatkan citra maskulin, sekalipun diperankan wanita. Muncul pula standarisasi mengenai pria macho yaitu pria yang memiliki tato di tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun