Jalaluddin Rumi dan Rabiatul Adawiyah adalah dua tokoh spiritual yang hidup pada periode yang berbeda dalam sejarah Islam. Meskipun keduanya mengemukakan pemikiran tentang mahabbah (cinta), terdapat perbedaan dalam pendekatan dan pemahaman mereka.
Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi Persia yang hidup pada abad ke-13. Ia merupakan pendiri tarekat Mevlevi, yang dikenal sebagai tarekat "Tariqa Mawlawiyya". Pemikiran Rumi sangat dipengaruhi oleh ajaran sufisme dan pengalaman mistis pribadinya. Ia dikenal karena puisi-puisi mistisnya yang indah, terutama dalam karyanya yang terkenal, "Matsnawi" dan "Divan-e-Hafiz".
Rumi melihat cinta (mahabbah) sebagai kekuatan universal yang melampaui batasan-batasan konvensional. Bagi Rumi, mahabbah adalah ikatan batin yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan juga dengan sesama manusia. Ia memandang cinta sebagai jalan menuju pencapaian kesatuan dengan Yang Maha Esa.
Pemikiran Rumi tentang mahabbah menekankan pentingnya kasih sayang, toleransi, dan pengampunan. Ia mengajarkan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang melampaui perbedaan dan memperluas batas-batas ego individu. Dalam pandangan Rumi, mahabbah adalah sumber inspirasi yang memungkinkan manusia untuk mengatasi diri mereka sendiri dan mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Sedangkan Rabiatul Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang hidup pada abad ke-8 di Irak. Ia merupakan salah satu tokoh perempuan paling terkenal dalam sejarah Islam. Pemikiran Rabiah juga dipengaruhi oleh ajaran sufisme, tetapi pendekatannya terhadap mahabbah memiliki perbedaan dengan Rumi.
Rabiatul Adawiyah melihat cinta (mahabbah) sebagai hubungan yang eksklusif antara hamba dan Tuhannya. Bagi Rabiah, cinta kepada Tuhan adalah inti dari keberadaan manusia, dan mencapai kesatuan dengan Tuhan adalah tujuan utama kehidupan. Ia mengajarkan bahwa mahabbah yang sejati adalah cinta yang tulus dan murni, tanpa memperhatikan pahala atau ganjaran.
Pendekatan Rabia terhadap mahabbah lebih kontemplatif dan menekankan pentingnya relasi pribadi dengan Tuhan. Ia menekankan perasaan keintiman, kerinduan, dan kesetiaan dalam cinta kepada Tuhan. Pemikiran Rabia sering diungkapkan dalam puisi-puisi singkat dan doa-doa yang mencerminkan kecintaannya yang mendalam kepada Tuhan.
Dalam perbandingan antara pemikiran Rumi dan Rabiah tentang mahabbah, dapat disimpulkan bahwa keduanya menganggap cinta sebagai kekuatan yang kuat dan transformasional. Namun, Rumi cenderung lebih menekankan aspek universal dan sosial dari cinta, sementara Rabia lebih fokus pada dimensi mistis dan individual dalam hubungan dengan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H