Mohon tunggu...
Zainal Faruq
Zainal Faruq Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah seorang yang ingin menjelajahi ilmu pengetahuan. Karena pengetahuan bisa menghantarkan kita pada kehidupan yang harmonis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kenyataan Hidup

23 Mei 2011   08:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:20 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut yang berada dibukit Gunung Semeru benar-benar sangat tebal. Bagaikan awan-awan menghiasi langit biru diwaktu sang surya telah menampakkan kemilau sinarnya di alam semesta. Di waktu itu, adzan berkumandang di mana-mana sebagai pertanda masuknya waktu shubuh. Sedari tadi,aku duduk sendiri di blabak dari bambu yang berada diteras rumah. Namun tak lama kemudian aku pun segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan shalat shubuh. Ketika tanganku mengambil timba, hawa pegunungan yang begitu dingin itu langsung saja menjadikan badanku gemetar. Apalagi ketika tanganku tersentuh air. Sedikit saja, wueh!!!

Setelah shalat subuh aku lalu pergi kebelakang rumah. Disana kulihat kebunku yang penuh dengan pohon singkong. Aku mengambil beberapa buah singkong untuk aku bakar. Setelah kubakar, aku memanggil adik-adikku yang masih kecil untuk mendekatiku, lalu sama-sama makan singkong bersama seperti biasanya.

Di sela-sela mereka makan singkong bakar, hatiku berbicara, Ya Allah, sudah sangat lama sekali adik-adikku ini tak mendapatkan kenyamanan seperti orang-orang kota. Bukannya aku tidak menerima kenyataan ini, namun aku merasa kasihan kepada mereka.

Aku sengaja merenung seperti ini, karena memang mulai aku kecil sampai aku dewasa sekarang, bahkan hingga kedua orang tuaku telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, kami belum pernah mendapatkan kenyamanan seperti orang-orang kota yang serba mewah. Namun, sesekali aku merasa sedikit lega ketika mereka ceria bermain bersama teman-temannya di kampung ini.

Sepertibiasa, untuk memenuhi kebutuhanku bersama adik-adikku, aku menjual kripik singkong dari singkong-singkong yang aku tanam dibelakang rumah. Demi adik-adikku, aku rela berjalan berkilo-kilo menuju pasar untuk menjual kripikku. Kadang penjualan kripikku laris, kadang juga tak begitu laris. Tapi aku tetap menerima keadaanku ini. Aku tetap bersabar. Karena aku yakin, suatu saat kesabaran yang aku jalani akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Kripik singkong pak... bu... mbak... tuturku setiap ada orang yang berjalandidekatku.

Memang bukan barang mudah mendapatkan pembeli, apalagi yang kujual adalah makanan yang tak sebanding dengan makanan orang-orang kota,kataku dalam hati disela-sela lalu lalang pengunjung pasar.

Mas, Kok ada pembeli masih melamun saja sih! Suara ini langsung membuyarkan lamunanku tadi. Suara itu adalah suara dari seorang gadis. Kalau aku amati, sepertinya dia itu terlahir dari keluarga yang mampu. Karena dari pakaiannya kelihatan serba mewah. Tapi aku tak begitu mengamati dengan serius. Ya, karena tujuanku di sini adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhanku dan dan adik-adikku yang masih kecil, bukan yang lain.

Spontan saja aku menanggapinya dengan sedikit gugup sembari mengambil kantong plastik yang berada di dalam grobak, “O... maaf, mau beli kripik, Mbak?

“Iya,” jawabnya dengan ramah.

“Mau beli berapa, Mbak?”

Berapa ya... sepuluh ribu saja ya, bolehkan?

Sepuluh ribu! Wah, kalau segitu sih bukan hanya boleh, tapi sangat-sangat boleh, Mbak...

Setelah kami berpisah, dalam hatiku berkata, Ya Allah, baru kali ini aku mendapat rezeki yang sangat banyak. Walaupun sepuluh ribu, tapi bagiku ini sudah terasa sangat banyak sekali. Sepuluh ribu yang telah dikasihkan kepadaku itu sudah termasuk besar. karena biasanya pembeli kalau membeli tidak pernah sampai segitu. Paling seribu, dua ribu, atau paling pol lima ribu. Terima kasih Allah, terima kasih…”

*****

Jarum jam menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Itu pertanda aku harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Dengan grobak dorongku yang berisi kripik itu aku berjalan perlahan-lahan menuju masjid. Hari itu cuaca sangat panas sekali. Keringatku bercucuran membasahi keningku. Sesampainya di masjid, sebelum aku melakukan shalat, sejenak aku duduk di emperan masjid. Dengan bersandar pada salah satu tiang masjid kurogoh saku celanaku untuk mengambil uang hasil penjualan kripikku mulai tadi pagi. Satu persatu kuhitung, ternyata hari ini aku mendapat uang sekitar lima puluh ribu. Walaupun hanya lima puluh ribu, hatiku sudah merasa tenang. Karena dengan uang sekian, aku merasa sudah bisa membawakan oleh-oleh untuk adik-adikku dirumah.

Setelah aku shalat, aku langsung bergegas menuju pasar untuk membeli sayur-sayuran dan lauk pauk. Aku tidak berlama-lama dipasar setelah membeli sayur-sayuran dan lauk pauk.Karena andai aku lama, pastiadik-adikku di rumah sudah sangatlapar sekali. Sesampainya dirumah, langsung saja aku dicegat adikku yang paling kecil.

Kak Irham, mana supnya? Aang sudah lapar nih,teriak adikku yang paling kecil dengan diikuti lari-lari kecil dari dalam rumah.

Nih, ayo kesini!” sahutku dengan perasaan iba.

Tapi aneh. Biasanya jika aku telah datang, suasananya sangat ramai sekali. Namun kini, hanya Aang saja yang menyambutku. Afif dan Uut tak ada. Aku pun cemas.

Lho, Kak Afif sama Mbak Uut mana? tanyaku ke dia dengan rasa keheranan.

Aang tak menjawab pertanyaanku. Lalu aku pancing dia agar mau bicara, Lho, Aang ditanya kok diam saja sih? Nanti Aang nggak boleh makan supnya lho…”

Setelah aku berkata, raut muka yang asalnya ceria kini malah menjadi murung. Dan sepertinya dia ada perasaan takut untuk membicarakan sesuatu. Tapi, tak lama kemudian dia mau bicara juga. Dengan sedikit terbata-bata dia membuka mulutnya yang mungil itu, Kak, Mbak Uut lagi sakit dan sekarang Kak Afif mencari kakak dipasar agar segera pulang.

Astaghfirullah!!! hatiku kaget bukan main

Sudah lama Mbak Uut sakit?

Sekitar satu jam, Kak.

Lalu, si Afif sudah lama pergi?

Sama, jawabnya dengan lugu.

Ya sudah, kalau Aang sudah lapar, makan saja ya supnya. Kakak mau melihat Mbak Uut dulu.

Ya, Kak.

Sekarang dimana Mbak Uut?

dikamar.

Tanpa pikir panjang aku langsung menuju kamar adikku. Di kamar kulihat dia sedang merintih kesakitan, Hhhhhh... hhhhh…

Kuletakkan telapak tanganku di keningnya, ternyata panas sekali. Aku semakin panik tatkala aku ingat adikku yang dikatakan Aang, yang lagi mencariku di pasar. Disaat itu,hatiku mulai dirudung dengan perasaan kebingungan. Karena ada dua hal yang sama-sama memprihatinkan. Mencari adikku, Afif, yang sedang di pasar atau menunggu adikku, Uut, yang sedang sakit. Karena semuanya sama-sama masih kecil. Yang Aku khawatirkan dari Afif adalah tersesat dipasar. Sementara Uut, aku takut kalau dia kutinggalkan, nantinya kalau ada apa-apa siapa yang akan menolong? Mau minta bantuan ke tetangga juga kemungkinan semua penghuninya masih berada di sawah atau di kebun. Akhirnya, aku pun memutar otak agar mendapat solusi. Agak lama aku memikir. Akhirnya aku mendapatkan ide.

Tiba-tiba dalam hatiku berkata, Motor! Ya, motor! Tetanggaku , Pak Tono kan punya motor.... Aku pikir, dengan meminjam motor Pak Tono, aku tidak akan lama saat mencari Afif.

Segeralah kubergegas menuju kebun yang lumayan jauh dari rumahku. Aku berlari-lari hingga sampai di dekat sawahnya.

Assalamu'alaikum!

Wa'alaikumsalam! jawabnya di tengah kesibukan menanam padi.

"Nak Irham! Tumben kesini. Ada apa?" lanjutnya

Ini pak, saya mau minta bantuan.”

Ya, memangnya Nak Irham mau bantuan apa?

Mau pinjam motornya,Pak. Ceritanya begini,Pak.Tadi pas saya pulang dari jualan kripik, kata Aang,Uut sakit. Ya, mungkin Afif panik, akhirnya dia menuju pasar. Tapi... (belum selesai aku berbicara, Pak Tono lantas memotong pembicaranku).

Astaghfirullah... dia kan masih kecil! Apa tau jalan?!

Ya, itu pak masalahnya....

Ya sudah, ini kunci motornya!

Terima kasih,Pak." Aku pun langsung bergegas pergi.

Disepanjang perjalanan, yang ada dibenakku hanyalah bayang-bayang kedua adikku itu. Serta rasa sedih dan cemas yang berkumpul menjadi satu.

Setibanya di pasar, aku langsung mematikan motor lantas segera mencari. Dari ujung selatan sampai ujung utara aku jajaki dan dari ujung timur sampai ujung barat aku lalui, ternyata belum kutemukan juga. Aku semakin panik. Suasana ramai yang ditambah panasnya matahari dikala itu semakin membuatku jadi tambah bingung. Sejenak aku duduk di bangku yang berada di depan Toko Emas samping jalan raya untuk mengistirahatkan badanku yang sudah letih kesana kemari mencari.

Disaat itu, tiba-tiba aku melihat kejadian yang mengejutkan. Aku melihat orang-orang lagi berlari mendatangi suatu tempat. Disana aku lihat semakin banyak saja orang-orang yang saling berdatangan. Akhirnya aku pun ikut tertarik untuk melihat kejadian itu.

Alangkah terkejutnya diriku setelah aku ikut-ikutan melihatnya. Ternyata yang dilihat adalah Afif yang tergeletak pingsan dipinggir trotoar. Langsung saja aku menerobos orang-orang yang berkerumun disitu.

Permisi Pak, Bu, itu adik saya!kataku dengan tak menghiraukan orang-orang sekitar.

Aku menduga, sepertinya dia pingsan karena dari pagi perutnya hanya diisi singkong bakar dan karena telah letih berjalan dari rumah menuju pasar hanya untuk mencariku. Lagi-lagi hatiku bergeming, Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Lengkap sudah penderitaanku ini.”

Lalu aku membopong adikku ke pojok sebelah toko. Setelah itu, aku merogoh saku celana untuk mengambil uang. Aku mendapati lembaran uang seribuan hanya ada delapan lembar. Melihat uang yang ada, hatiku semakin sedih.

Ya Allah, hamba-Mu ini sungguh tidak punya apa-apa untuk membeli makanan atau obat untuk adikku. Akankah Engkau mau menolong hamba-Mu yang berada dalam kesulitan ini? doaku disela-sela kebingunganku dengan disertai rasa sedih yang mendalam. Semakin lama aku di pojok sana, ternyata kedua mataku mulai meneteskan air mata. Meratapi apa yang sedang terjadi.

Aku hanya bisa pasrah. Mengharap keajaiban datang. Dan ternyata…

Saat itu pula, tiba-tiba didepanku datang mobil Jazz merah yang berhenti didepanku persis. Lalu pintu dibuka dan keluarlah seseorang dari dalam.

Lho, Mas nggak jualan kripik lagi?Aku masih terdiam. Hatiku bertanya-tanya, “Siapa gadis ini?” Setelah itu kuangkat kepalaku.

Aku amati agak lama, sepertinya aku pernah mengenal wajah ini. Aku coba ingat-ingat, mungkin aku kenal. Dan ternyata benar! Aku masih kenal wajah ini. Dia adalah pembeli kripikku tadi pagi.

O... Mbak, yang tadi pagi barusan beli kripik itu ya? timpalku sambil mengusap basah-basah air mataku.

Lho, kenapa disini?Dan siapa anak kecil itu?

Eng... ini adikku, Mbak, jawabku dengan nada sedikit parau.

Eits! Kok belum dijawab sih pertanyaan awal tadi?” Sedikit serius dia menanggapiku.

Sebenarnya aku mau bilang jujur, tapi aku malu.

“Ayo, bilang saja! Mungkin aku bisa bantu kamu dan adikmu. Jangan lama-lama disini! panas lho.” sambungnyaagak sedikit memaksa agar aku memberi kejelasan padanya.

Dengan rasa sedih yang bercampur malu akhirnya aku katakan, Saya disini sebetulnya mencari adikku ini, Mbak. Ceritanya begini,Mbak.Tadi pas saya pulang dari jualan kripik, adik kedua saya sakit. Ya, mungkin Afif, adik pertama saya yang sekarang Mbak lihat ini panik, akhirnya dia menuju pasar untuk memberi tahu saya. Tapi...ketika saya telah menemukannya disini, dia pingsan. Saya menduga, dia pingsan karena perutnya kosong. Kemudian saya bingung di sini sedari tadi. Saya memikirkan bagaimana mencari solusi.....” Sampai disini aku bicara. Aku tak berani melanjutkan, karena aku merasa tak pantas untuk melanjutkan perkataanku. Sebab, nanti hubungannya pasti tak jauh dari uang.

“Terus,ujarnya lagi kepadaku dengan raut muka penuh penasaran tatkala aku menghentikan perkataanku.

Aku bingung saat katanya yang semakin mengejarku. Mau bilang jujur malu, tapi andai aku diam, aku kasihan pada adikku ini. Tapi kemudian kuputuskan saja berkata jujur, karena raut mukanya begitu serius memperhatikanku.

Ya, terusnya saya tidak punya uang untuk membeli makanan dan obat untuk adik-adikku, jawabku polos dengan nada parau.Kepalaku menunduk karena merasa malu.

Masya Allah! Ayo cepat masuk kedalam mobil! Ini nggak boleh dibiarkan lama-lama!

Tidak usah, Mbak.

Tak perlu sungkan, ayo cepat!ujarnya lagidengan raut muka panik.

Dengan tanpa basa-basi lagi, dia membukakan pintu mobil mewahnya itu.

Ayo cepat!

Tapi saya bawa motor tetangga, Mbak.

O... begitu tho. Emm... begini saja.Kamu sebagai penunjuk jalan. Kamu di depan, sementara aku di belakang. Oke?

Dalam situasi demikian, sepintas aku teringat dengan petuah al-Marhum bapak dan ibu. Beliau berdua dulu semasa hidupnya pernah berkata kepadaku di saat aku masih kecil, “Nak, walaupun kita keluarga miskin, tapi jangan sekali-kali meminta kepada orang. Itu tidak baik! Namun apabila ada seseorang yang memberikan sebuah pemberian, jangan sekali-kali menolaknya, karena itu bisa menjadikan rezekimu seret (macet).

Mungkin ini adalah yang dimaksud bapak dan ibu,kata hatiku bergeming. Ketika itu, aku langsung bergegas membopong adikku yang pingsan sedari tadi menuju mobil. Seperti yang diinginkan Mbak itu, akhirnya aku naik motor sebagai penunjuk jalan. Dan kami pun melaju bersama menuju rumah.

******

Terima kasih, Mbak,kata terima kasihku kepada mbak yang baik hati itu.

Kini semua adik-adikku telah sembuh. Bukan hanya kesembuhan yang aku dapatkan, tapi aku dan adik-adikku juga dikasih bingkisan dan beberapa uang. Sungguh baik sekali dia.

Ya, sama-sama. Kita kan sama-sama makhluk sosial. Jadi, yang namanya makhluk sosial itu kan saling membutuhkan, timpalnya diiringi senyum.

Eh! kalau boleh tahu, siapa namamu?

Nama saya Irham, Mbak.

Emm... sebuah nama yang bagus. Kalau namaku Maria.

Kripikmu enak lho, Mas, lanjutnya memuji.

Ah! bisa saja Mbak ini, timpalku dengan agak malu.

Benar lho! Aku nggak bohong.

Waktu itu, aku, adik-adikku, dan dia sedang berada di teras rumah. Kami semua diteras rumah ngobrol cukup lama. Setelah kami berkenalan dan ngobrol cukup lama, dia memberitahu kalau ternyata dia adalah anak seorang pengusaha restoran besar di Jogja. Dan disela-sela obrolan kami, dia sempat bilang kalau di restorannya itu lagi butuh seseorang lagi. Dia menawarkan aku untuk bersedia menjadi karyawannya di sana.

“Gimana? tanyanya kepadaku tentang tawarannya tadi.

Gimana ya, Mbak? Soalnya, saya kan orang miskin, jadi tidak pantas dan tidak terbiasa dengan kehidupan mewah. Dan ditambah lagi kalau nanti saya jadi kesana takutnya merepotkan. Soalnya, adik-adikku ini masih kecil semua.” Jawabku polos.

Wah, kalau soal itu tak perlu dipusingkan, Mas! Semua nantinya akan diatur kalau Mas mau kesana. Gimana, apa masih ragu?

Aku berfikir sejenak. Aku memandangi adik-adikku yang masih kecil disekitarku. Aku ingin kalau mereka bisa mendapatkan keceriaan. Karena demi sang adik, akhirnya aku pun bersedia untuk pindah ke Jogja, menjadi karyawan sebuah restoran besar.

*****

Tahun demi tahun telah kulewati, tak terasa umurku sudah dua puluh tujuh tahun. Adik-adikku juga sudah besar. Sekarang, aku sudah punya rumah sendiri, yang kutempati bersama adik-adikku. Aku bersyukur kepada Allah. Karena dengan jerih payahku, aku bisa mencukupi kebutuhan adik-adikku dengan profesiku sebagai karyawan restoran. Aang sekarang sudah kelas enam SD, Uut kelas XI di salah satu MA di Jogja, dan Afif sekarang ikut bantu aku sebagai karyawan restoran. Sekarang hidupku sudah dibilang lebih dari cukup. Hanya saja, satu hal yang masih terasa kurang dalam hidupku. Yakni teman hidup. Aku sadar, bahwa setiap orang pasti mendambakan seseorang yang bisa diajak menjadi teman sejati dalam kehidupan. Namun, sesekali aku tepis pikiran itu. Karena aku merasa, sepertinya tidak ada yang tertarik denganku. Apalagi keadaanku yang apa adanya seperti ini.

Suatu hari, di kala aku lagi memasak, tiba-tiba salah satu patner kerjaku memanggilku.

Ham! Kamu dipanggil bos!!!

Langsung saja aku menuju ruang khususnya.

Wah, pasti honornya naik nih, hehehe,gurau temanku yang memanggilku tadi.

Husss! Ada-ada saja,kataku membalikkan dengan diiringi senyum.

Perlahan-lahan aku membuka pintu. Pintu berdenyit. Didalam ruangan, Pak Aris, bosku, sudah menunggu dari tadi.

Permisi, sapaku padanya.

Ya, silahkan, sambutnya padaku dengan ramah.

Maaf, ada perlu apa bapak memanggil saya? tanyaku mengawali.

Oh, tidak. Aku hanya ingin ngobrol ringan saja sama Nak Irham.

Ketika beliau berkata demikian, aku menjadi bingung. Dalam benakku terbesit, “Aneh! Tidak ada apa-apa kok memanggilku ya?”

Seperti yang dikatakan Pak Aris, akhirnya kami berdua ngobrol ringan. Diriku semakin terkejut tatkala raut muka Pak Aris berubah agak serius setelah canda tawa. Setelah raut mukanya berubah serius, sejenak dia diam. Tak lama kemudian dia berkata.

Nak Irham, Kalau saya amati, kerja Nak Irham ini cukup bagus.

Ah! Menurut saya, ada yang lebih baik dari saya, Pak. Erik! Ya, saya kira dia itu lebih rajin dibandingkan saya dan teman-teman yang lainnya.” timpalku merendah.

Setelah itu, lagi-lagi muncul rasa keheranan dan bingung dalam hatiku ketika Pak Aris berhenti sejenak setelah aku bicara tadi. Apalagi ditambah ekspresinya yang tambah serius. Di saat itu, aku menduga sebenarnya Pak Aris ini ingin mengatakan hal yang bersifat serius kepadaku, tapi beliau tidak tahu harus memulai dari mana?

Dan benar!Setelah diam, beliau melanjutkan pembicaraan lagi.

Nak Irham, sebetulnya kita ngobrol kesana-kemari ini karena aku ingin mengatakan sesuatu kepada Nak Irham.” Jantungku mulai berdebar.

Maksud bapak? tanyaku keheranan.

To the poin saja Nak Irham. Kamu tahu Maria?

Ya Pak! Itu kan anak bapak, Memangnya kenapa?Aku semakin tidak mengerti apa yang dimaksud Pak Aris.

“Jadi begini. Maria kan sekarang sudah lulus kuliah. Dan sekarang dia sudah berumur dua puluh empat tahun. Kamu juga sudah tahu, kalau Maria itu anak semata wayang. Jadi... (Pak Aris tak meneruskan).Aku tidak berani menyambung perkataan. Karena nampaknya sangat serius sekali.

Dan tiba-tiba hati ini kian berdebarbukan main. Karena penasaran menunggu potongan kata yang belum terungkap.

Jadi, aku ingin kamu jadi pendampingnya.

Mendengar perkataan Pak Aris, hatiku begitu terhentak. Dalam hatiku berkata, Ya Allah, apakah ini memang kenyataan ataukah hanya sebuah mimpi? Aku tidak habis pikir, seorang dari keluarga miskin ditawari menikahi putri cantik dari seorang pengusaha restoran ternama di Jogja!

Gimana Nak Irham, bersediakah kamu? Dan yang perlu nak Irham ketahui, permintaan ini sebenarnya datangnya adalah dari Maria sendiri. Dia bilang kalau dia naksir sama Nak Irham. Hanya saja, dia malu untuk berbicara langsung dengan Nak Irham.

Maaf Pak, mohon saya di depan bapak diberikan waktu sebentar untuk mempertimbangkannya.

Ya, silahkan.

Disaat itu aku merenungi diriku ini. Aku merenungi kehidupanku yang semula susah kemudian menjadi mudah. Dan kemudahan yang aku temukan sekarang ini semua tak lain karena perantara Maria dan keluarganya. Kucoba berikan pertanyaan kepadanya. Mungkin dia akan berubah pikiran.

“Maaf, Pak. Tapi saya itu tidak punya apa-apa?”

“Tidak apa-apa.”

“Apa bapak tidak keberatan kalau saya bukan orang berpendidikan tinggi?”

“Tapi kelakuanmu kan baik!”

“Pak… saya tumbuh dari keluarga tidak punya.”

“Ah! Cinta itu tak pandang harta.”

“Ayolah, Nak Irham,” sambungnya dengan mengiba. Aku diam. Aku berkata dalam Hati, Sangat tidak sopan sekali seandainya seseorang yang telah diberikan bantuan, namun setelah dia mendapatkannya dia lari begitu saja.

Mengingat pertimbangan ini, akhirnya kukatakan dengan mantap pada Pak Aris.

Jika ini yang diharapkan bapak dan keluarga bapak, terutama Maria, insyaAllah saya akan lakukan.” Pak Aris tersenyum.

Takdir memang tidak ada yang tahu. Orang miskin tak selamanya miskin, begitu pula sebaliknya. Yang perlu digari bawahi dalam kehidupan ini adalah, hendaknya kita tidak letih untuk berupaya menjadi yang terbaik. Dan tentunya, untuk menggapainya itu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak rintangan yang menunggu didepan.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun