IT Governance vs Agile & DevOps: Mana yang Lebih Sesuai untuk Era Digital?
Dalam dunia bisnis modern, IT Governance sering dianggap sebagai kunci utama dalam memastikan bahwa teknologi informasi digunakan secara optimal untuk mencapai tujuan organisasi. Namun, apakah konsep ini benar-benar relevan dan efektif dalam dunia yang terus berkembang dengan cepat? Berbagai referensi mendefinisikan IT Governance dengan cara yang berbeda. Weill & Ross (2004) melihatnya sebagai spesifikasi hak pengambilan keputusan dan kerangka kerja untuk mengarahkan perilaku organisasi dalam penggunaan IT. ISACA melalui COBIT 2019 mendefinisikannya sebagai struktur dan proses yang memastikan bahwa IT mendukung serta mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Sementara itu, ISO/IEC 38500 menggambarkannya sebagai sistem yang digunakan organisasi untuk mengendalikan teknologi informasi, dan Peterson (2004) menyoroti pentingnya optimalisasi nilai IT dan pengelolaan risiko.
Jika kita perhatikan lebih dalam, semua definisi ini memiliki kesamaan dalam hal menekankan struktur, proses, dan pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan IT. Namun, perbedaannya terletak pada pendekatan yang digunakan: Weill & Ross lebih fokus pada pengambilan keputusan, COBIT dan ISO/IEC 38500 lebih berorientasi pada standar dan kepatuhan regulasi, sementara Peterson menitikberatkan pada nilai dan risiko. Meski tampak beragam, apakah perbedaan ini benar-benar berdampak dalam praktik? Ataukah ini hanya perbedaan terminologi yang membingungkan para praktisi yang berusaha menerapkannya?
Ketika berbicara tentang relevansi IT Governance dalam organisasi modern, muncul pertanyaan kritis: framework mana yang benar-benar memberikan manfaat nyata? Banyak organisasi yang mencoba menerapkan framework seperti COBIT atau ISO/IEC 38500 justru menghadapi kendala dalam kompleksitas dokumen dan regulasi yang menghambat fleksibilitas bisnis. Di dunia yang bergerak cepat, apakah organisasi memiliki cukup waktu untuk menyusun "struktur pengambilan keputusan" sementara pesaing mereka sudah mengadopsi teknologi baru?
Selain itu, IT Governance sering kali digunakan sebagai alat birokrasi yang memperlambat inovasi. Proses persetujuan yang panjang dan aturan yang ketat dapat menghambat eksekusi proyek IT yang seharusnya berjalan cepat. Ironisnya, perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, dan Facebook justru tidak terlalu bergantung pada framework IT Governance yang formal, melainkan lebih menekankan pada budaya inovasi dan pengambilan keputusan cepat. Hal ini membuktikan bahwa framework yang terlalu kaku bisa menjadi hambatan dibandingkan sebagai solusi.
Sebagai alternatif, banyak organisasi saat ini beralih ke pendekatan Agile dan DevOps, yang menekankan fleksibilitas, kolaborasi, dan iterasi cepat. Pendekatan ini bertolak belakang dengan sebagian besar konsep IT Governance yang cenderung formal, birokratis, dan lamban. Jika organisasi yang lebih lincah dan berbasis inovasi dapat berhasil tanpa mengadopsi IT Governance secara ketat, apakah ini berarti konsep tersebut sudah ketinggalan zaman?
Kesimpulannya, meskipun IT Governance memiliki niat baik dalam meningkatkan efektivitas penggunaan teknologi informasi, kenyataannya sering kali konsep ini tidak realistis dalam praktiknya. Framework yang kaku, birokrasi yang berlebihan, dan kurangnya fleksibilitas menjadikan IT Governance lebih sebagai hambatan dibandingkan solusi. Oleh karena itu, organisasi modern perlu berevolusi dan mengintegrasikan prinsip-prinsip IT Governance dalam pendekatan yang lebih adaptif seperti Agile dan DevOps. Dengan kata lain, jika IT Governance tidak berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, maka ia berisiko menjadi sekadar teori akademik yang tidak lagi relevan dengan dunia bisnis yang dinamis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI