Mohon tunggu...
Farrel RonaldFerdinand
Farrel RonaldFerdinand Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan ilmu komunikasi UMY

mahasiswa yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tantangan Kelompok Minoritas Terhadap Politik Identitas Di Indonesia

7 Januari 2024   14:47 Diperbarui: 7 Januari 2024   15:15 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia seperti yang kita ketahui merupakan Negara kepulauan dengan beragam jenis suku, agama, ras, Bahasa daerah dan budaya. Keberagaman yang ada di Indonesia membuatnya menjadi rentan dengan perpecahan bangsa. 

Di Indonesia, perbedaan sosio-kultural yang dimiliki belum didongkrak oleh kualitas sosial dan kultural yang memadai (Pratama, 2015). 

Prasangka sekelompok massa (keagamaan) terhadap kepemimpinan minoritas, seperti kasus Gubernur Ahok di Jakarta, juga menjadi penguat masih bekerjanya "curigaisme" yang mengatas namakan agama dan etnisitas (Minanto, 2015). 

Di Indonesia imigran (orang Arab, Barat dan khususnya Cina) dan keturunannya, meskipun sudah berstatus WNI namun masih di anggap sebagai "asing" di hadapan mayoritas pribumi. Dengan berkaca pada keadaan Indonesia pada saat itu, Indonesia yang merupakan negara dengan keberagaman yang sangat tinggi, mulai dari beragam agama, ras, suku, etnis, budaya dan golongan masyarakat. 

Oleh karena itu tak jarang muncul prasangka sosial yang menimbulkan stereotip, terjadinya diskriminasi, dan kesalahpahaman antara berbagai agama, ras, suku dan budaya tersebut. 

Meskipun Indonesia memiliki semboyan "Bhineka Tunggal Ika" yang diartikan sebagai berbeda-beda tapi tetap satu jua, nyatanya masih banyak sekali konflik antar masyarakat mayoritas dan minoritas yang akhirnya menimbulkan perpecahan pada persatuan Indonesia. 

Pancasila yang menjadi dasar negara, dimana didalamnya telah disebutkan mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan juga persatuan Indonesia. Yang artinya pemerintah dan masyarkat sepakat untuk selalu berupaya mewujudkan kerukunan dan sikap saling menghormati didalam kehidupan bermasyarakat. 

Melihat kondisi yang terjadi disekitar kita sekarang, isu ini kemudian menjadi sangat genting mengingat semakin meluasnya masalah-masalah yang terjadi. Keadaan politik di Indonesia secara umum saat ini masih sangat primordial. Isu Politik masih berputar-putar sekitar etnik dan agama. Bahkan partai politik pun didirikan atas dasar hal itu. Trend politik berorientasikan demikian ini sangat mengkhawatirkan, terutamanya bagi, daerah yang terdiri dari berbagai agama dan suku bangsa.

Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945- 1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam. Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998) tercatat tidak kurang dari 456 gereja dirusak, ditutup maupun diresolusi. 

Perusakan gereja yang terjadi setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1996 sampai dengan akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi. Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01%) dirusak. 

Dibakar dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45%), tahun 1998 tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26%) dan tahun 2000 tercatat 53 gereja (11.2%). Berdasarkan tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia meliputi 76 Kabupaten/ Kota Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak terjadi di Jawa (273 gereja 57.72%) dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja 42,28 %). Pengrusakan gereja lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52%) dibandingkan kota pedalaman (182 gereja/ 38.48%) Denominasi gereja dibedakan atas Protestan, Pantekosta dan Katolik. Dari 473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74%), Pantekosta (179 gereja/ 37.84%) dan Katolik (54 gereja 11.42%).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun