Mohon tunggu...
Farrel Rafdy
Farrel Rafdy Mohon Tunggu... Aktor - UIN SGD

Public Relations

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hubungan Antara Pemakaian Baju Terbuka dan Terjadinya Pelecahan Seksual

27 Juni 2022   20:10 Diperbarui: 27 Juni 2022   20:21 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum membahas hubungan antara baju yang terbuka dengan pelecehan, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa sih Pelecehan Seksual itu?

Pelecehan seksual merupakan tindakan bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun kontak non-fisik. Tindakan tersebut dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental. Pelecehan seksual tidak hanya dilakukan secara kontak fisik, ada juga yang dikatakan pelecehan secara verbal seperti Catcalling. 

Catcalling sendiri merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis. Terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan atau pujian, kadang kadang disertai kedipan mata.

Pelecehan seksual tidak hanya dapat dilakukan dalam dunia nyata, tetapi juga bisa dilakukan di dunia maya.

Contoh kasus yang biasa terjadi adalah saat seseorang mengunggah video di aplikasi Tiktok dan para penontonnya memberikan komentar yang bernuansa seksual seperti "Turunin dikit dong bajunya, kurang keliatan tuh". Komentar seperti contoh tersebut termasuk perbuatan pelecehan seksual.

Pelecehan seksual adalah hal yang tidak boleh dilakukan oleh siapapun, seperti yang sudah tertera pada Hukum di Indonesia yaitu dalam pasal pelecehan seksual dapat dijerat dengan menggunakan pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. 

Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.

Banyaknya yang terjadi dimanapun pelecehan seksual biasanya masyarakat masih saja menyalahkan korbannya. Pelecehan seksual biasa dilakukan oleh pelaku nya dengan sengaja karena tidak bisa menahan hawa nafsu dan langsung melampiaskannya kepada korbannya. 

Biasanya korbannya adalah perempuan dan pelakunya adalah laki laki, tetapi pelecehan seksual tidak hanya dilakukan oleh lelaki dengan korban wanita. Padahal sudah ada pasal tentang perlindungan terhadap perempuan yang tertuang dalam kebijakan perlindungan terhadap kekerasan perempuan merupakan hak asasi harus diperoleh. 

Sehubugan dengan hal itu , Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Tetapi pelecehan seksual bisa terjadi kepada siapa pun bahkan kepada lelaki sebagai korban, dan pelaku dengan gender yang sama.

Terjadinya pelecehan seksual di dunia nyata biasanya merupakan murni kesalahan pelaku yang tidak bisa menahan hawa nafsu dan tindakannya. 

Sedangkan pelecehan seksual yang terjadi di dunia maya biasa terjadi karena sang korban terlebih dahulu yang memancing menggunakan baju yang sangat terbuka dan melakukan goyangan yang sangat erotis, dari kejadian tersebut bisa dilihat bahwa baju yang terbuka bisa memancing seseorang untuk melakukan pelecehan seksual.

Kesimpulannya adalah baju yang digunakan oleh seseorang termasuk berpengaruh kepada terjadinya pelecehan seksual, karena seharusnya para korban setidaknya melakukan pencegahan. Tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan korban. Pada dasarnya kedua belah pihak antara korban dan pelaku harus bisa sama sama menjaga agar tidak terjadi pelecehan seksual.

Mungkin pendapat saya disini agak berbeda dan mungkin bisa jadi tidak diterima oleh banyak orang, tapi menurut saya segala sesuatu terjadi karena sebab-akibat. Sesuai yang ada pada teori Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting. Teori ini diajukan oleh von Buri, bahwa musabab adaIah tiap-tiap syarat yang tidak dapat dihlangkan untuk timbulnya akibat. 

Teori ini juga dinamakannya teori ekuivalensi, yaitu tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (equivalent), karena menurut von Buri tidak ada perbedaan antara syarat dengan musabab. 

Seperti Orang yang mengisi pelita dengan minyak, orang yang membuat korek api, orang yang menanam kapas untuk membuat sumbu pelita itu, semua adalah sama nilainya dengan yang menyalakan pelita, sebab sama-sama merupakan syarat atau musabab untuk nyalanya pelita tadi.

Orang yang menjual pisau, yang mengasahnya, adalah sama saja dalam menyebabkan matinya si A, seperti halnya si B yang menusuk si A tadi dengan pisau. Saya harap pendapat yang sudah saya tuangkan pada artikel ini dapat dimengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun