Mohon tunggu...
Farrell Sudarma
Farrell Sudarma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki kegemaran untuk menulis dan mengembangkan riset, termasuk dalam bidang Hukum, Sosial, dan Politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memandang Potensi Konflik Laut China Selatan dari Aspek Hukum Humaniter Internasional

31 Mei 2024   11:11 Diperbarui: 31 Mei 2024   11:15 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum humaniter internasional menurut KGPH Haryomataram adalah hukum yang memiliki tujuan utama memberikan perlindungan dan pertolongan kepada orang yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostility) (combatants) atau mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (civilian populations). Menurut International Committee of the Red Cross (ICRC), hukum humaniter internasional adalah suatu cabang dari hukum internasional publik yang terdiri dari seperangkat aturan bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam permusuhan dan pembatasan terhadap cara dan metode peperangan (means and methods of war). Hukum humaniter berlaku apabila terjadi konflik bersenjata antara dua atau lebih pihak baik antara angkatan bersenjata suatu negara dengan negara lainnya (armed forces), negara dengan kelompok bersenjata (armed groups), maupun antar kelompok bersenjata di dalam suatu negara.

Dalam sejarahnya, hukum humaniter internasional kebanyakan diterapkan dalam peperangan di darat. Namun, dengan semakin berkembangnya penemuan hukum dan teknologi, hukum humaniter internasional mulai mengakomodir pula pengaturan peperangan di laut dimulai dengan diaturnya secara spesifik peperangan di laut dalam Konvensi Jenewa Kedua tahun 1949. Sayangnya, pengaturan ini belum diikuti oleh penegakkan hukum yang signifikan. Sampai sekarang, belum ada tribunal pidana internasional baik yang bersifat ad hoc atau permanen seperti International Criminal Court (ICC) yang pernah mengadili kasus kejahatan perang yang terjadi di laut. 

Karena tema dari tulisan ini bersifat hipotetikal, maka saya hanya akan menguraikan potensi pelanggaran hukum humaniter apa yang dapat terjadi jika pada akhirnya meletus konflik antara Republik Rakyat China (RRC) dengan negara-negara sekitar Laut China Selatan. Harus diakui bahwa menegakkan hukum humaniter dalam kasus ini cukup sulit dikarenakan tidak ada negara yang menjadi pihak dalam konflik bersenjata ini yang meratifikasi Statuta Roma 1998 dan membuat mereka terikat dengan International Criminal Court (ICC), pengadilan pidana internasional yang dapat mengadili kasus kejahatan perang. 

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai potensi yang dapat terjadi, saya akan terlebih dahulu membahas kapan sebuah konflik bersenjata dimulai menurut hukum humaniter internasional. Menurut Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949, konflik bersenjata internasional dimulai ketika terdapat penggunaan angkatan bersenjata dari negara-negara yang bersengketa.  Menurut ayat 1 pasal tersebut, tidak diharuskan adanya rekognisi dari salah satu pihak mengenai eksistensi dari konflik bersenjata itu sendiri. 

Selama konflik berlangsung, maka ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkonflik demi terciptanya suatu konflik bersenjata yang humanis. Tata cara peperangan di laut diatur dalam berbagai sumber hukum humaniter internasional seperti: Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 ke-II, dan San Remo Manual 1990. Para tawanan perang yang diperoleh oleh para pihak dalam suatu konflik bersenjata tidak boleh diperlakukan secara semena-mena sesuai dengan amanat Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 ke-II. Mengenai potensi diserangnya kapal-kapal sipil, Protokol Tambahan I dari Konvensi Jenewa 1949 yang ditetapkan pada tahun 1977 mengemukakan bahwa dalam menjalankan operasinya, para pihak dalam suatu konflik bersenjata wajib melakukan pembedaan antara objek militer dan objek sipil sebelum melakukan serangan (distinction principle). Jikalau para pihak dalam peperangan ingin menghancurkan suatu objek sipil demi meraih keuntungan militer tertentu, hal tersebut diperbolehkan dalam prinsip proporsionalitas dengan syarat keuntungan militer yang diraih harus seimbang dengan kehilangan sipil yang diderita. 

Mengingat bahwasanya tidak ada negara-negara sekitar Laut China Selatan yang meratifikasi Statuta Roma, maka sesuai dengan Statuta Roma 1998, penegakkan hukum humaniter dalam kasus ini harus bertopang pada keinginan negara-negara peratifikasi Statuta Roma 1998 atau Dewan Keamanan PBB untuk mengarahkan ICC melakukan investigasi terhadap kasus tersebut. Hal ini tentunya merupakan sebuah tantangan besar, mengingat salah satu anggota tetap dewan keamanan PBB adalah salah satu pihak yang memiliki andil besar dalam sengketa Laut China Selatan. Dari sinilah peran negara adidaya saingan merupakan hal yang harus ada agar terciptanya pertanggungjawaban yang setara antar negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun