24 Februari 2022, Federasi Rusia menembakkan rudal-rudal dan mengerahkan ribuan pasukan dan tank untuk menginvasi dan merebut kemerdekaan Ukraina. Berkaca pada Perang Krimea tahun 2014, publik dari seluruh dunia meramalkan kemenangan telak Rusia atas Ukraina sebagai hal yang tak terelakkan. Namun, ramalan tersebut terpatahkan ketika pada tanggal 6 April 2022, hampir 2 bulan setelah invasi berlangsung, Rusia menarik pasukannya dari sekitar ibu kota Ukraina, Kyiv. Sampai hari ini, perang masih terus berlanjut dengan beralihnya model serangan Rusia dari penyerangan ofensif, menjadi defensif ketika Rusia gagal mempertahankan Kherson di bawah kendali. Ekonomi Rusia yang sebelumnya sudah morat marit akibat korupsi dan rendahnya investasi asing semakin memburuk dengan datangnya hujaman sanksi ekonomi dari negara-negara maju. Ribuan tenaga ahli dari generasi muda pergi meninggalkan Rusia akibat minimnya lapangan pekerjaan yang tersisa.Â
Melalui invasi ke negara yang digadang-gadang sebagai "saudara tua" Rusia ini, Putin berharap untuk mengembalikan lagi kondisi teritori Rusia seperti di era Uni Soviet bahkan Kekaisaran Rusia. Namun, alih-alih demikian, nampaknya yang sebenarnya terjadi ialah sebuah pembuktian dari kejatuhan Rusia itu sendiri. Rusia yang dulunya menjadi jagoan ketika terlibat dalam konflik, kini menjadi bahan olok-olokan dari warganet. Para ahli bahkan menyatakan bahwasanya militer Rusia sekarang, jika tanpa senjata nuklir, memiliki kualitas setara dengan militer di negara-negara dunia ketiga. Hal ini semakin dapat dibuktikan ketika melihat jumlah kematian tentara Rusia di medan peperangan Ukraina yang lebih besar dibandingkan jumlah kematian tentara Uni Soviet selama perang Soviet-Afghanistan.Â
Di samping jumlah prajurit tewas di medan peperangan, jumlah penduduk Rusia selalu mengalami penurunan signifikan setiap tahunnya. Per tahun, angka kelahiran di Rusia hanya mencapai kurang dari 1,2 juta kelahiran. Hal ini tidak sebanding dengan angka kematian di Rusia yang mencapai 2 juta per tahunnya, dan 2,5 juta sejak masa pandemi Covid-19. Mengingat bahwasanya prajurit yang dikirimkan ke medan perang ialah generasi muda yang masih berusia 20-an tahun, hal ini akan semakin memperparah komposisi demografi Rusia. Tak mengherankan apabila dalam kurun waktu 10-12 tahun ke depan, Rusia akan diisi oleh orang-orang berusia lanjut yang akan menghambat produktivitas perekonomian Rusia. Faktor tersebut yang menjadi salah satu urgensi Vladimir Putin untuk menganeksasi wilayah di sekitar Eropa Timur untuk memperbaiki kerusakan demografi Rusia.Â
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya invasi Rusia terhadap Ukraina yang bertujuan untuk memperbaiki keterpurukan Rusia malah semakin mempercepat kejatuhan Rusia itu sendiri. Vladimir Putin yang sudah frustasi mempertahankan kekuasaannya berusaha menutup-nutupi fakta tersebut. Namun, baik diakui maupun tidak, kenyataan tidaklah dapat dielakkan. Rusia bukanlah lagi sebuah negara super yang dielu-elukan, melainkan sebuah negara yang sedang sekarat dan berusaha menunda kematiannya dengan cara apapun. Tiongkok yang digadang-gadang sebagai sekutu besar Rusia pun enggan untuk memberikan bantuan langsung kepada negara beruang satu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H