Panasnya siang seperti memanggang seluruh tubuh Pak Amat. Keringat mengalir deras di sela-sela topinya. Handuk yang melingkar di lehernya pun tampak basah. Pak Amat memegang ujung handuknya untuk mengelap keringatnya. Ia mendesah panjang melihat gerobak mi ayamnya. Gulungan mi yang berada di baskom baru berkurang dua. Biasanya saat makan siang, gulungan mi itu sudah hampir habis.
Sudah seminggu ini dagangannya sepi. Sejak virus corona datang, perlahan dagangannya menjadi sepi. Semakin hari semakin berkurang pembelinya. Pintu-pintu gang menuju permukiman ditutup sehingga ia tidak bisa keluar masuk dari satu gang ke gang yang lain. Belum lagi ia harus berpikir ulang ketika harus masuk melalui gang utama. Semprotan disinfektan bisa saja menempel di mi atau sayurannya.
Terlalu panas, katanya dalam hati. Ia melihat sebuah pos ronda dan dengan cepat melaju ke arahnya. Ia duduk dan mengeluarkan sebotol air. Aduh, sampai kapan harus begini? katanya dalam hati lagi. Ini satu-satunya mata pencahariannya. Apa yang harus ia lakukan jika PSBB benar-benar diterapkan di kotanya. Otaknya seperti tak bisa berhenti berpikir mencari jalan agar ia dan anak-anaknya tetap bisa hidup selama wabah corona ini.
     Tiba-tiba ada sebuah motor yang mendekati gerobak mi ayamnya. "Pak, beli, Pak. Empat bungkus ya," kata salah seorang anak.
     "Komplit ya?" tanya Pak Amat.
     "Iya, Pak. Ekstra pangsit ya, Pak."
     Salah satu anak yang duduk di boncengan mendekati gerobak mi ayam. "Sepi ya, Pak."
     "Iya, mas. Tapi alhamdulillah masih ada yang beli kok," kata Pak Amat tersenyum terpaksa.
     "Terus, kalau sisa, mi-nya diapakan, Pak? Bukannya mi hanya bisa bertahan sehari saja, Pak?"
     "Sisanya dimakan sendiri, Mas. Ya mau bagaimana lagi, daripada terbuang sia-sia."
     "Apa tidak bosan makan mi ayam setiap hari, pak?" tanya salah seorang anak yang lain.