Mohon tunggu...
Farrel Alexander Rumate
Farrel Alexander Rumate Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA Kolese Kanisius

hobi berjalan tinggi 180 kg

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Seberat Apa Sebuah Pelanggaran?

5 November 2024   12:29 Diperbarui: 5 November 2024   12:48 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 21 Oktober 2024, Yusril Ihza Mahendra, yang baru saja dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, membuat pernyataan yang kontroversial mengenai tragedi kerusuhan 1998. 

Dalam wawancara dengan wartawan, ia menegaskan bahwa kerusuhan tersebut tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, dan ia menyebut bahwa pelanggaran HAM berat seperti genosida, pembunuhan massal, atau pembersihan etnis tidak terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. 

Bahkan ketika ditanya lebih lanjut oleh wartawan, Yusril dengan tegas menjawab, "Enggak."

Pernyataan ini langsung memicu kontroversi dan mendapat kritik tajam, terutama dari para korban tragedi tersebut dan masyarakat yang peduli dengan hak asasi manusia. 

Bagi banyak orang, termasuk lembaga seperti Komnas HAM, peristiwa Mei 1998 merupakan tragedi besar yang melibatkan berbagai pelanggaran HAM berat.

 Dalam pandangan mereka, tindakan yang terjadi selama kerusuhan tersebut, seperti pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual, termasuk dalam kategori pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Meski demikian, proses hukum untuk menuntut pertanggungjawaban atas peristiwa ini belum berjalan efektif, dan keadilan bagi para korban masih jauh dari tercapai.

Pernyataan Yusril, yang menganggap tragedi 1998 sebagai bukan pelanggaran HAM berat, memperlihatkan ketidakpedulian yang serius terhadap penderitaan yang dialami oleh korban. 

Dengan hanya menyebutkan kategori pelanggaran seperti genosida atau pembunuhan massal sebagai pelanggaran HAM berat, Yusril mengabaikan kenyataan bahwa penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan sistematis terhadap kelompok tertentu juga termasuk dalam kategori pelanggaran berat. 

Hal ini sangat disayangkan karena mengurangi bobot penderitaan yang dialami oleh banyak orang yang menjadi korban kekerasan dan penindasan pada saat itu.

Mengabaikan peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat adalah bentuk penghinaan terhadap para korban. Bayangkan jika anda adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam kerusuhan, atau seorang suami yang kehilangan istrinya tanpa dapat melakukan apapun untuk menyelamatkannya. 

Bayangkan jika rumah anda dibakar hingga menjadi puing-puing, dan anda terpaksa melarikan diri tanpa membawa apa-apa.

 Bahkan lebih tragis lagi, bayangkan jika anak perempuan anda menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang dilakukan secara brutal.

 Dalam kondisi seperti ini, trauma mendalam akan membekas seumur hidup. Rasa aman yang dulu anda anggap sebagai hak dasar mendadak lenyap, digantikan oleh rasa takut dan kehancuran emosional yang tak terhingga.


Pernyataan Yusril yang meminimalkan tragedi ini, tanpa mempertimbangkan bahwa bagi banyak korban, peristiwa tersebut bukan hanya sekedar catatan sejarah tetapi juga luka yang belum sembuh, jelas memperburuk keadaan. 

Keinginan para korban untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan atas penderitaan mereka semakin terhambat. 

Bagaimana mungkin suatu negara dapat maju atau berkembang jika tidak mampu mengakui dan menuntaskan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu? Tanpa pengakuan dan pengadilan yang adil, luka-luka sejarah tersebut akan terus membekas, bukan hanya bagi mereka yang terlibat langsung, tetapi juga bagi generasi berikutnya yang tidak mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa tersebut.

Tidak hanya itu, Yusril dengan pernyataannya juga mencerminkan sikap yang cenderung menutup mata terhadap realitas sosial yang terjadi di lapangan. 

Sebagai seorang pejabat publik yang memegang tanggung jawab besar dalam bidang hukum dan hak asasi manusia, seharusnya Yusril lebih peka terhadap sejarah kelam bangsa ini. 

Mengabaikan atau bahkan meremehkan tragedi 1998 berarti mengabaikan kenyataan bahwa tragedi tersebut bukan hanya soal angka korban, tetapi juga soal martabat dan hak asasi manusia yang dilanggar dengan kejam.

Selain itu, pernyataan ini memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam hal penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak peristiwa Mei 1998, banyak keluarga korban yang mencari keadilan dan menginginkan agar pelaku kekerasan diadili. 

Namun, sistem hukum Indonesia, yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, justru gagal memberikan respon yang memadai. Banyak kasus yang terhenti tanpa penyelesaian, dan keadilan yang mereka harapkan semakin sulit untuk diraih. 

Dalam konteks ini, Yusril, yang baru dilantik sebagai pejabat tinggi negara, seharusnya menjadi pihak yang mendorong agar proses hukum berjalan dengan lebih baik dan agar keadilan dapat ditegakkan, bukan malah membuang-buang kesempatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(Rully Kesuma/Aliansi Jurnalis Independen) 
(Rully Kesuma/Aliansi Jurnalis Independen) 
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah memasuki era reformasi yang lebih demokratis, masih ada beberapa kalangan yang enggan atau bahkan takut untuk menghadapi dan mengakui kekerasan masa lalu. 

Mungkin karena adanya kekhawatiran bahwa pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat akan membuka pintu bagi tuntutan politik atau tuntutan hukum terhadap individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tersebut. 

Namun, penting untuk diingat bahwa keadilan dan pengakuan terhadap korban bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai langkah untuk memperbaiki dan menyembuhkan luka bangsa.


Pelanggaran hak asasi manusia, terutama yang terjadi pada tragedi kerusuhan 1998, menciptakan dampak jangka panjang yang merusak tatanan sosial. 

Trauma yang ditimbulkan bukan hanya dirasakan oleh para korban langsung, tetapi juga oleh keluarga mereka dan masyarakat pada umumnya. Ketidakpastian dan ketakutan yang melanda pada masa itu masih menyisakan bekas, dan pengakuan atas pelanggaran tersebut adalah langkah pertama menuju pemulihan. 

Dengan mengabaikan atau meremehkan kejadian tersebut, negara ini bukan hanya mengkhianati para korban, tetapi juga merusak dasar moral yang seharusnya menjadi landasan dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Sebagai masyarakat yang menghargai martabat dan hak setiap individu, kita harus terus mengingat dan menuntut agar tragedi 1998 diakui sebagai pelanggaran HAM berat. 

Negara ini tidak akan pernah benar-benar sembuh dari luka-lukanya jika tidak ada keberanian untuk menghadapinya. Keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu adalah langkah penting untuk memastikan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun