“Saya adalah ChatGPT, sebuah model bahasa yang besar yang dilatih oleh OpenAI. Saya dirancang untuk membantu menjawab pertanyaan, memberikan saran, dan memfasilitasi komunikasi dengan bahasa alami. Saya memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia dan beberapa bahasa lainnya, dan saya siap untuk membantu Anda dengan kebutuhan komunikasi bahasa Anda.”
Begitulah deskripsi diri ChatGPT, sebuah AI yang dibuat oleh OpenAI, laboratorium penelitian kecerdasan buatan Amerika Serikat yang terdiri dari OpenAI Incorporated dan anak perusahaannya, OpenAI Limited Partnership.
ChatGPT berperan untuk membantu merkea yang membutuhkan bantuan dalam menjawab pertanyaan, memberikan saran, atau memecahkan masalah. ChatGPT berfungsi layaknya Google, akan tetapi sebagai sebuah chatbot, sebuah program yang dirancang untuk menyimulasikan perckapan dengan orang lain. ChatGPT bahkan dapat diajak berbicara layaknya seorang teman atau lawan bicara manusia.
Fitur ini tidak jarang ditemukan di dalam AI lainnya seperti Alexa atau Amazon Echo, Siri, Google Assistant, dll., tetapi dengan adanya sebuah aplikasi seperti ChatGPT yang dibuat secara spesifik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan dan gratis tersedia di browser, orang biasa, terutama pelajar yang sedang membutuhkan bantuan dalam pekerjaannya, dapat menggunakan ChatGPT sebagai bantuan untuk menulis essay, topik, atau ide-ide lainnya.
Layaknya AI biasa, ChatGPT tidak sempurna. ChatGPT masih tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan lebih dalam mengenai perasaan, yang jelas tidak bisa dimiliki oleh AI seperti dirinya sendiri. ChatGPT kurang bisa melakukan sebuah proses peninjauan dan pengeditan yang melibatkan otak, bukan penulisan yang datang dari sebuah program.
“AI dapat mengumpulkan semua yang diinginkannya dari sumber lain, tetapi tidak dapat menarik kesimpulan cerdas tentang tren atau sejarah yang belum pernah diambil sebelumnya. Itu adalah bagian besar dari apa yang penulis lakukan.” jelas Jill Duffy, seorang penulis artikel pcmag.com, sebuah majalah komputer, mengenai ketidaksempurnaan ChatGPT dalam menyelesaikan masalah manusia pada umumnya yang membutuhkan pengetahuan yang tidak dapat datang dari hasil otomatisasi sebuah program.
Salah satu lagi masalah yang datang dari adanya program ChatGPT yang terbuka untuk siswa adalah terjadinya plagiarisme di dalam penulisan essay. Dari ChatGPT, siswa bebas menghasilkan segala bentuk essay yang memungkingkan mereka untuk mengerjakan tugas dengan cepat dan tanpa kontribusi sendiri.
Hanya sebatas menulis “Buatlah aku sebuah essay panjang mengenai ____”, ChatGPT dapat menghasilkan sebuah essay lengkap mengenai topik yang sudah dipersembahkan dan siswa tidak perlu kerja banyak untuk mendapatkan hasil pekerjaannya yang sudah bisa dikumpul seolah-olah mereka telah membuat essay tersebut dengan diri mereka sendiri.
Setiap permintaan “Buatlah sebuah essay panjang” dapat menghasilkan sebuah essay yang memiliki 6 paragraf panjang, atau bahkan lebih. Diluar masalah ini, ChatGPT tidak bisa disalahgunakan untuk , seperti tindak kriminal dan tindakan lain yang melanggar hukum.
Ada juga opini pihak yang tetap mendukung penggunaan ChatGPT oleh para siswa. “Guy berkata, “Satu dekade yang lalu, saya sedang berbicara dengan seorang anak SMA teman saya. Saya terkejut mendengar dia tidak diharuskan mengerjakan soal matematika dengan pensil selama dia bisa dengan kalkulator. Program penulisan AI tampaknya merupakan perpanjangan logis dari itu. Mengapa harus menulis, ketika anda bisa menulis dengan menekan satu tombol?” “. Kutip Celeste Headlee di dalam podcastnya di wired.com, mengenai penggunaan ChatGPT oleh para pelajar.
Para guru yang mengajar tidak harus berkhawatir dan mencurigai kalau essay murid mereka telah ditulis oleh ChatGPT atau tidak, karena sudah tersedia program di internet juga yang bisa menjadi “lawan” ChatGPT, yang bertugas untuk mendeteksi jika essay murid yang telah ditulis dihasilkan oleh AI atau tidak.
Website seperti ZeroGPT dan chatgptdetector.app bertujuan sama persis seperti yang sudah tertera, yaitu untuk mendeteksi adanya plagiarisme terutama yang dihasilkan oleh ChatGPT di dalam pekerjaan siswa.
“Pada akhirnya, teknologi ChatGPT ini tidak menghasilkan sesuatu yang baru, dan mungkin menggantikan bagian esai tertentu. Dan kami bekerja sama dengan para guru untuk menavigasi bagaimana, ya, AI dan teknologi manusia bercampur, dan bagian mana yang merupakan keterampilan yang sangat penting dan bagian mana yang tidak. Dan ya, kami senang membuat alat yang tepat untuk melakukannya, karena menurut saya para guru juga menyadari bahwa teknologi ini juga ada di sini.” Jelas Edward Tian, pencipta ZeroGPT, teruntuk para guru yang khawatir penggunaan ChatGPT oleh murid mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H