Sebagai warga negara, tentunya kita telah mengetahui bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya, agama, kultur, ras, dan lain sebagainya. Karena keberagaman yang dimiliki, tentu harapannya masyarakat dapat menghargai atau bersikap toleran antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak menimbulkan ketegangan, dimana puncak dari ketegangan itu sendiri dapat menimbulkan konflik di antara masyarakat.Â
Akan tetapi kerap kali keberagaman yang dimiliki diabaikan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang kemudian menciptakan sikap intoleran dalam masyarakat yang ada, sehingga harapan tersebut di atas hanya menjadi sebuah ekspektasi belaka dan dari kelalaian tersebut dampaknya yang diperoleh tidak hanya menyangkut individu melainkan berdampak pula pada kelompok yang lebih besar. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berbunyi: "berbeda-beda tetapi tetap satu" pun saat ini hanya dianggap sebagai pajangan narasi semata dan tidak dihidupkan dengan seksama.
 Intoleransi di Semeru
Salah satu contoh kasus intoleran yang baru viral akhir-akhir ini dan membuat beberapa merasa resah ialah kasus seorang .pemuda berinisial HF menendang sesajen di desa Supiturang, Pronojiwo Lumajang, area terdampak erupsi Semeru. HF melakukan tindakan tersebut dengan frekuensi dua kali di tempat yang berbeda.Â
Dan tak hanya itu, tindakan yang dilakukan oleh HF direkam yang dimana rekamannya disebar ke beberapa grup yang dimiliki HF. Dari situ dapat disimpulkan tindakan penendangan sesajen yang dilakukan oleh HF merupakan tindakan yang disengaja, melihat dari adanya perencanaan untuk merekam aksi yang dilakukan dan kemudian disebarkan ke teman-temannya, serta penendangan sesajennya dilakukan dua kali.
Setelah viral dan diketahui bahwa kasus tersebut merupakan tindakan senonoh yang telah dilakukan oleh HF, pada akhirnya HF berhasil ditahan oleh pihak berwajib dengan sangkaan ujaran kebencian dan penghinaan terhadap satu golongan (pasal 156 KUHP). Setelah di interograsi, HF menyatakan kepada Polisi bahwa dirinya melakukan tindakan tersebut karena adanya sesajen dianggap sebagai sebuah bentuk kesyirikan, tidak sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya, dan dari adanya sesajen tersebut dapat membuat murka Allah yang dipercayainya.
Menurut Bu Toetik (seorang antropolog dari Universitas Airlangga Surabaya), sesajen merupakan salah satu bagian dari kepercayaan masyarakat yang sudah ada sejak lama, misalnya seperti animisme. Dalam animisme, masyarakat percaya bahwa tempat-tempat yang terdapat di bumi, seperti gunung dan gua, memiliki jiwa dan harus dihormati agar tidak mengganggu manusia. Dijelaskan Bu Toetik bahwa religi itu awalnya berkaitan dengan lingkungan, maka dari itu ada kepercayaan animisme.
Karena animisme merupakan sebuah kepercayaan yang masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia, maka kita sudah sepatutnya menghargai kepercayaan tersebut. Masyarakat tentunya memiliki kebebasan untuk percaya dan mengimani kepercayaannya, sehingga sang pelaku seharusnya tidak menganggap perbuatannya sebagai tindakan benar. Dengan demikian, jika kita dapat menghargai adanya perbedaan, tentunya kita juga bersedia untuk menghormati perbedaan lainnya tidak hanya sesajen.
 Kesimpulan
Sebagai seorang Seminaris yang bisa dikatakan dalam Agama Katolik merupakan seorang calon Imam, tentunya saya diajarkan mengenai toleransi/menghargai adanya perbedaan. Karena di seminari tempat saya menempuh pendidikan saat ini entah para Imam (akrab dipanggil Romo) ataupun Guru yang ada dan telah membimbing saya dan teman-teman lainnya mengajarkan adanya perbedaan tersebut. Contoh kongkritnya ialah kami diharuskan untuk menghargai perbedaan yang ada di antara teman kami dari beragam daerah, seperti misalnya dari Balikpapan, Lombok, Papua, Manado, Medan, Pandaan, dlsb. Tak hanya itu, dalam satu kesempatan kami diajak untuk berkunjung ke klenteng yang ada di daerah Magelang dan sekitarnya ditambah dengan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan para santri/santriwati yang terdapat di pesantren sekitar Jogja dan Magelang.
Dari sini saya belajar bahwa dengan menghargai adanya keberagaman yang dimiliki antara sesama itu sangatlah menyenangkan, dalam artian tidak adanya perselisihan yang terjadi dan dapat berelasi dengan tenteram. Maka dari itu, kita harus mengubah mindset kita terhadap agama lain, karena saya mempercayai bahwa setiap agama tentunya mengajarkan hal-hal yang baik bukannya kesesatan. Sehingga ketika hal tersebut dapat terealisasikan, maka sesuai dengan yang disampaikan oleh Menko Muhadjir saat menyampaikan Keynote Speech pada Kongres ke-11 Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia di Hotel Polania (1 Mei 2021) : adanya keberagaman sesuai dengan keberagaman semboyan Bhinekka Tunggal Ika, merupakan modal besar untuk maju bersama membangun bangsa Indonesia.