Di Bojong Herang, sebuah desa yang tersembunyi di rerimbunan pepohonan dan heningnya waktu, hidup seorang ibu tua bernama Fatimah. Setiap langkahnya diiringi bayang-bayang kehilangan yang mendalam, seiring langit senja yang membungkus rumah kecilnya dengan kehampaan. Anak lelakinya, Ahmad, telah meninggalkan pelukan ibunya untuk mengejar bayang-bayang impian di kota yang tanpa belas kasihan.
Tiap pagi, dalam keheningan rumah kecilnya yang berdebu, Fatimah mencari penghiburan di masjid desa. Ayat-ayat suci menjadi satu-satunya teman dalam kesendirian yang menyiksa. Pagi dan petang, suara gemericik air mata yang tersembunyi bergema di sudut hatinya yang sunyi. Meskipun saudaranya, Ustadz Abdul, dikenal sebagai penjelmaan kebijaksanaan di kota, kehidupan Fatimah tetap terhimpit oleh keterbatasan dan penderitaan.
Kehidupannya semakin pahit ketika, setiap pulang dari masjid, Fatimah harus memohon pada setiap orang yang lewat untuk mengantarkannya pulang. Jalanan yang sepi menjadi saksi bisu atas kepedihan seorang ibu yang terpinggirkan oleh kehidupan. Rasa malu dan terpuruknya derita membuat langkah kakinya terasa semakin berat. Meski berusaha bersikap tabah di hadapan orang lain, dirinya sendiri menjadi saksi bisu atas luka yang dalam.
Ustadz Abdul, sang saudara yang memiliki kemampuan untuk mengangkat derajat hidup Fatimah, memilih untuk membiarkan saudarinya merasakan kehangatan hidup yang serba kekurangan. Baginya, kehidupan adalah ujian yang harus dihadapi dengan ketabahan, bahkan jika itu berarti menatap keperitan dalam mata.
Suatu hari, senja menyelinap perlahan di Bojong Herang, menyatu dengan duka ibu Fatimah. Setiap tangisan terdengar seperti lirik lagu kesedihan yang tak berkesudahan. Fatimah duduk di teras rumah kecilnya, memandang bintang-bintang dengan tatapan bersedih namun penuh keikhlasan. Hidupnya adalah simfoni tragis yang tak pernah menemui klimaks kebahagiaan.
Rumah kecil itu menyimpan cerita pilu yang terpampang di dinding-dindingnya yang retak. Kursi kosong yang pernah ditempati oleh Ahmad kini menjadi saksi bisu akan kekosongan yang melanda. Foto keluarga yang tersenyum bahagia di masa lalu menjadi bayang-bayang yang semakin kabur.
Kisah ini adalah catatan penuh duka tentang seorang ibu yang terjebak dalam remang-remang kehidupan. Di balik senyumnya yang pudar, tersimpan kerinduan dan kepedihan yang sulit diungkapkan. Hidupnya adalah alunan lagu kesedihan yang tak pernah putus, diiringi oleh suara gemuruh kehilangan yang menyayat hati, merangkum tragedi hidup seorang ibu yang ditinggalkan anaknya dalam kesendirian yang memilukan.
Semua itu, sebuah opus sedih yang tak pernah usai, menciptakan lukisan duka yang mendalam di hati ibu Fatimah. Setiap tetesan air mata seperti cat hitam di atas kanvas putih, merinci setiap coretan kesedihan yang tak terhapus. Dan begitulah, dalam hening malam, ibu Fatimah terus merangkai doa dan rintihan di bawah bintang-bintang yang menyaksikan duka yang tak kunjung usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H