Di sebuah kota yang ramai, terdapat seorang filsuf yang mendalami makna kebahagiaan. Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan seorang pedagang tua yang tengah merenung di tepi jalan yang ramai.
Pedagang tua itu tampak lesu, dan wajahnya dipenuhi oleh raut kekhawatiran. Sang filsuf duduk di sisinya, bertanya, "Mengapa engkau begitu sedih, teman?"
Dengan perasaan terbebani, pedagang tua itu pun menjawab, "Ah, saya telah menghabiskan seluruh hidupku mengejar kebahagiaan, mencari sukses dalam bisnis, dan menciptakan kekayaan. Namun, semakin keras saya mengejarnya, semakin jauh rasanya kebahagiaan itu dariku. Seperti keinginanku akan kebahagiaan itu menjadi penghalang bagi diriku sendiri."
Kebahagiaan, wahai sahabat, bukanlah suatu tujuan yang bisa langsung dicapai. Ia lebih seperti bayangan yang senantiasa mengikuti setiap langkahmu. Ketika kau berusaha mengejarnya dengan sekuat tenaga, ia malah semakin menjauh. Kebahagiaan sejati tak terletak pada suatu tujuan akhir yang harus kau gapai, melainkan dalam proses dan kondisi batin yang kau ciptakan pada saat ini, di dalam momen yang sedang kau jalani.
Sang pedagang tua itu mengangguk, mencerna kata-kata sang filsuf dengan penuh perhatian. "Lalu, bagaimana aku bisa menemukan kebahagiaan itu?" tanyanya.
Sang filsuf tersenyum, "Kebahagiaan terletak pada bagaimana kau menerima dirimu dan momen yang ada. Ia ada di dalam kesadaranmu akan keberkahan dalam setiap hela nafas, dalam perasaan syukur akan hal-hal kecil, dan dalam koneksi yang kau bangun dengan dunia di sekitarmu. Bukan di masa lalu yang telah berlalu, bukan pula di masa depan yang belum pasti, tetapi dalam saat ini, di sekarang."
Pedagang tua itu merenung sejenak. "Aku merasa terjebak dalam lingkaran perbandingan dengan orang lain, mencari kebahagiaan dalam kesempurnaan yang tampaknya ada pada mereka," ucapnya dengan rasa penyesalan.
Sang filsuf tersenyum lembut, "Tetapi kebahagiaan sejati tidaklah terletak dalam apa yang orang lain miliki, melainkan dalam penerimaan terhadap keadaanmu sendiri. Saat kau berhenti membandingkan dan mulai menerima siapa dirimu dan apa yang kau miliki, kau akan menemukan kebahagiaan yang sejati."
Pedagang tua itu mengangguk, merasa sebuah beban telah terangkat dari pundaknya. Sang filsuf pun pergi dengan senyum, meninggalkan pedagang tua itu dalam kesunyian untuk merenungkan kata-kata bijak yang telah didengarnya.
Dalam perjalanannya, sang filsuf menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan di luar, tetapi lebih dalam, di dalam hati dan pemahaman diri sendiri. Ia belajar bahwa kebahagiaan sejati terletak pada bagaimana kita memandang dunia di sekitar kita, dan bagaimana kita menerima diri dan momen yang hadir dalam kehidupan ini. Ia memahami bahwa paradoks kebahagiaan terletak pada keberadaan diri di sini dan sekarang, bukan pada pencarian tanpa henti.