Mohon tunggu...
ahmad fuady
ahmad fuady Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Laboratorium ke Negara

17 Agustus 2010   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Values are what we care about. As such, values should be the driving force for our decision making. –Ralph Keeney

Saya percaya bahwa yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Kebaikannya akan semakin berkembang kalau kata 'orang lain' diderivasi menjadi 'sebanyak-banyaknya orang'. Bukan hanya karena itu perkataan Rasul, tapi karena saya juga menemukan kerisauan di dalamnya. Saya tidak bisa bicara banyak, juga tidak bisa berkomentarapa-apa, ketika kelas Global Public Health dimulai. Kawan-kawan saya bisa dengan leluasa menyumbang pendapat mereka ketika saya hanya bisa mendengarkan. Mereka bicara tentang 'salt reduction', 'tobacco control', 'zero accident', danbanyak hal yang sebenarnya sudah ada di kepala saya, tapi tak pernah ada digenggaman tangan saya. Saya jadi teringat negeri saya sendiri yang berulangtahun ke-65. Saya tak tahu kado apa yang sudah saya siapkan buatnya, tapi saya tak akan rela jika hanya menyisakan air mata yang berkepanjangan. Ya, paling tidak saya punya kegelisahan dan kepedulian. Gelisah bahwa sesungguhnya saya tengah berada dalam belantara yang tak jelas arahnya. Di kanan kiri saya banyak orang hebat dengan segala proyek, penelitian, dan penemuan yang boleh jadi membuat orang berdecak kagum tak henti-henti. Masalahnya, kehebatan itu tak juga berimbas pada perbaikan negeri. Penelitian berjalan sendiri-sendiri, boleh dibilang minim koordinasi. Hasilnya, sang peneliti hanya berkutat pada publikasi dan kum yang mesti dikumpulkan demi mencapai jabatan dan gelar terhormat tertentu. Penelitian yang seharusnya memberikan efek pembuatan kebijakan yang baik belum juga muncul. Bukan salah peneliti sepenuhnya, memang. Negeri ini belum berani mengambil langkah tegas untuk membangun negaranya bersama-sama. Negeri ini masih belum malu jika pengendara motor harus berboncengan bertiga, bahkan tanpa helm, dan masih belum jera jika ada ribuan orang meregang nyawa di jalan raya. Padahal, ahli statistik sudah dibayar sedemikian rupa untuk menghitung berapa banyak jiwa yang sudah melayang, korban yang terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Jangan dulu bicara tentang obesitas dan diabetes melitus yang makin merajalela bersama banyaknya restoran cepat saji yang berdempet-dempet, negara ini juga masih belum merasa resah dengan banyaknya asap rokok yang mengepul dan rentetan data penyakit infeksi yang belum juga selesai dituntaskan. Padahal, penelitian dari skripsi sampai disertasi sudah berderet-deret diterbitkan. Masalahnya, memang, penelitian kaum akademisi belum digandeng dengan erat oleh pemegang kebijakan. Jika hal ini berjalan dengan baik, niscaya tidak akan ada mal yang jarak satu dengan lainnya hanya selemparan batu serta tidak ada lagi lampu merah yang selalu padat dengan jejeran motor dan mikrolet yang maju jauh dari batas garis zebra cross. Politisi yang haus kekuasaan masih berkuasa dan mungkin masih akan saling berkelahi menjelang pemilu empat tahun lagi. Maka, jangan heran jika kebijakan yang ditelurkan pun masih sangat politis, tidak berdasarkan data yang sahih. Opini 'ahli' masih dianggap sabda dewa yang mesti dituruti, tidak lagi menyadur pada hakikat randomized control trial atau meta analysis. Kalaupun sudah dibuat, sampling-nya masih bermasalah karena 'Indonesia' kerap dianggap sebagai Jakarta saja, bukan keseluruhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Basis koordinasi pemangku kebijakan dengan para peneliti inilah yang semestinya diperbaiki dari akarnya. Jika selama ini konsultan pilkada dengan statistikanya selalu dibanggakan sebagai lembaga dengan basis ilmiah yang terpercaya, mengapa pada hal-hal yang krusial lainnya justru para peneliti diabaikan. Negeri ini tidak kekurangan orang hebat. Tiap tahun selalu ada remaja yang ikut olimpiade dan membawa pulang emas dengan gemilang. Setiap tahun pula ribuan mahasiswa menyelesaikan proyek skripsi, tesis, dan disertasi di berbagai universitas. Produk ilmiah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Problemnya adalah bagaimana menggiring semua proses ilmiah itu menjadi bagian dari kemaslahatan umat, bukan tumpukan bata yang menyusun menara gading lembaga ilmu pengetahuan. Bukan lagi saatnya para peneliti berkutat saja dalam laboratorium, tapi juga membuka pintu mereka dan mengundang para petinggi untuk masuk dan berdiskusi. Lebih tepat lagi bila para petinggi itu bukan lagi duduk-duduk nyaman mendengar pimpinannya berpidato, tapi menjemput ide-ide brilian yang masih berceceran di berbagai universitas. Hubungan akademisi-pengusaha-pemerintah (academician-businessmas-government, ABG) mutlak harus diperbaiki dan diperkuat. Akademisi harus membuka mata bahwa proyek keilmuannya tidak cukup hanya sebagai catatan keilmuan yang disimpan di perpustakaan, tapi harus memberikan inovasi yang berimbas pada kebaikan masyarakat. Jika demikian, pengusaha akan melirik sebagai investasi yang baikbagi industri. Pemerintah pun harus serta merta menggandeng semua sivitas akademika menjadi bagian dari bentukan negara yang solid. Saya percaya bahwa ilmu itu diciptakan Allah untuk kebaikan manusia. Maka, keberadaan para ilmuan (ulama) sudah seharusnya membawa perbaikan dalam segala urusan manusia. Sudah 65 tahun negeri ini merdeka. Rasanya, tak perlu menunggunya berusia seratus tahun untuk bisa membangun negeri ini dengan baik dan benar. Yang dibutuhkan kemudian adalah kerelaan untuk membuang egoisme pribadi, meluruhkan keangkuhan, dan memadukan kebersamaan untuk negeri ini. Bhinneka Tunggal Ika tak pantas jika berdiri hanya sebagai semboyan. Ia harus merasuk dalam jiwa dan melandasi setiap gerakan masyarakat yang membangunnya. Saya yakin banyak orang yang juga memiliki kegelisahan seperti ini, bahkan mungkin jauh lebih besar –dan dengan upayanya masing-masing. Saya hanya bisa mengatakan bahwa inilah kado kecil saya untuk ulang tahun negeri yang teramat besar ini. Hanya kepedulian yang bersisa, mudah-mudahan saja masih dianggap sebagai sesuatu yang bernilai. Rotterdam, 17 Agustus 2010 00.07 kado kecil untuk negeri Gambar diambil dari : http://www.galess.com.pl/pub-img/laboratorium_2-b.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun