Mohon tunggu...
ahmad fuady
ahmad fuady Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kancil atawa Jibril

2 Maret 2010   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ada dua kancil yang datang ke kamarkosong saya semalam. Setelah mengetuk pintu (entah dengan tungkainya yang sebelah mana), mereka berdiri saja di depan pintu. Mereka nyengir. Bukan nyengir kuda, tapi nyengir kancil. Saya paham bahwa nyengir kancil tak masuk kamus manapun di dunia, tapi saya harus jujur pada diri saya sendiri bahwa nyengir-nya mereka waktu itu benar-benar nyengir kancil. Tidak dibuat-buat, dipoles-poles, apalagi dipaksakan supaya sudutnya pas dan tidak kelewatan. Bukan senyum model tiga senti, tapi juga bukan tawa lawak yang terbahak-bahak. Saya persilakan mereka masuk sambil berusaha memulai perbincangan. Tapi, sebelum perbincangan dimulai, kancil yang di sebelah kiri sudah protes, “Aku tahu di kepala sampean kami ini pencuri kecil.” Ah, saya sudah menyangka mereka memang kancil yang biasa saya baca di dongeng waktu saya masih kecil. “Tapi, sekarang kami sudah tobat,” katanya. “Ada angin apa sampai sudah bertaubat? Penulisnya yang menyuruh?” “Ah, bukan. Kami ini tahu diri. Zaman sekarang, mencuri mentimun itu hukumannya bisa lebih berat dari korupsi.” “Baguslah kalau begitu. Kalian sudah berhenti mencuri mentimun pak tani, kan?” “Cuma mentimun.” “Lainnya?” “Sekarang kami sibuk korupsi.” “Lha?” “Justru itu, kami ke sini. Minta perlindungan sama sampean.” “Waduh, perlindungan macam apa?” “Sampean ini kan orang jujur. Murah hati, tidak sombong, dan dikenal orang sebagai manusia yang rajin shalat dan ibadah. Sampean bilang saja kalau kami ini sudah bertobat dengan bimbingan sampean. Sudah rajin mengaji, sudah rajin shalat malam. Orang-orang pasti percaya.” “Gundulmu!” “Dari dulu kami kan memang tidak pernah punya rambut. Tapi, tetap punya otak. Lebih baik lah dari kaum kalian para manusia, yang rambutnya lebat, modelnya banyak; poni, mohawk, cepak, punk, kribo. Tapi, otaknya kosong.” Si kancil yang banyak omong itu pelan-pelan masuk kamarkosong. Diambilnya posisi tepat di bawah loteng kamar yang bocor. Sambil nyengir-nyengir kancil, dia menatap mata saya dalam-dalam. Ada yang mulai mempermainkan saya, rupanya. “Sampean pikir saya ini Sulaiman? Bisa bicara dengan kalian para kancil? Bicara saja pada raja hewan kalian. Pada singa, macan, kingkong, bison...” Si kancil geleng-geleng. “Sampean ini yang takabbur. Bukan sampean yang punya ilmu Sulaiman. Tapi, kami, kancil ini, yang bisa bahasa manusia. Jangan dibolak-balik. Manusia itu memang gampang sombong. Baru tahu sedikit, merasa sedikit, ge-er-nya minta ampun. Sudah mengaku-ngaku bisa ini-itu, tahu ini-itu.” “Lha, jadi sampean ke sini mau minta perlindungan atau pura-pura jadi malaikat Jibril?” “Nah, lagi kan?” “Lagi apa?” “Kalau saya malaikat Jibril, jadi sampean Rasul Muhammad, begitu? Waduh, kacau dunia.” “Sampean ini binatang, tapi kurang ajar sama manusia ya...” Saya sudah tidak tahan. Saya ambil pisau dari atas meja, mengacungkannya ke depan kepala mereka dan teriak keras-keras, “Sampean bisa mati kapan saja kalau saya tusuk dan cincang-cincang perut kalian.” Si kancil malah tertawa keras. “Kalau sampean terus begini, level sampean ndak akan pernah jadi seperti Musa. Mentok jadi manusia biasa.” “Jadi, sampean ini merasa seperti Khidir?” “Lebih hebat dari Khidir, bahkan.” “Siapa? Fir’aun?” “Huss... Lebih baik sampean tutup mulut. Fir’aun itu tempatnya di dasar laut, Khidir di ujung langit. Sampean malah banding-bandingkan seenaknya.” “Lalu siapa?” “Cuma pembawa surat. Kabar gembira dan peringatan.” “Lha? Nabi? Nanti sampean bisa dipenjara kayak Lia Eden, kayak Moshadeq. Kancil kok ngaku-ngaku jadi nabi?” “Sampean lupa? Saya ini koruptor. Kalau koruptor pura-pura jadi nabi pun, tidak ada yang protes. Lagi pula saya ini binatang. Derajat saya seperti binatang, bal hum adholl, bahkan lebih sesat.” Saya bengong setengah mati. Mulut saya mangap selebar-lebarnya. Tak tahu mau bilang apa. Si kancil terus bicara, nyerocos tak berhenti-henti. Sampai akhirnya dia kelelahan sendiri dan bilang begini pada saya, “Sampean tahu di mana letak surga dan neraka?” Saya menggeleng. Pasti. “Di luar sana. Bukan di sini, bukan di kamarkosong-mu yang sempit ini.” Saya tertawa. Si kancil malah nyengir. Nyengir kancil. Lalu bertanya, “Mau saya antar?” kamarkosong, maret 2010 [malam sudah hampir habis]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun