"M-maafkan aku karena telah membencimu sekian l---lama.." ujar Anwar dengan begitu kikuk.
"Abi selalu memaafkan kalian, bahkan sejak hari pertama kalian ada di dunia ini. Aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu War. Selama ini justru kau yang memendam banyak beban, Abi tahu itu, raut wajah yang sama ketika Abi dulu menghadapi kakekmu itu. Namun ketika aku sadar, aku mencoba mengikhlaskannya. Aku berdamai pada pikiranku, berjalan maju ke depan untuk membina keluarga kecil ini"
Rojali berdiri dan berjalan menuju pelataran kebun teh yang berada di depan pondokan. Angin terus berdesir dari arah timur, pepohonan bergoyang, dedaunan teh tampak seperti menari-nari. Sudah begitu lama bagi Anwar tidak merasakan suasana seperti ini, "Sudah lebih dari 20 Tahun lamannya.." Anwar membatin. Ranting pohon menepuk-nepuk bagian atap pondok, Anwar menengadah ke atas, melihat secercah cahaya menelisik masuk melalui celah dedaunan pohon yang bergoyang. Cahaya matahari itu begitu hangat, rasanya seluruh beban pikiran Anwar seperti meleleh.
Anwar menghela nafas panjang dengan senyuman rasa syukur yang terpancar dari sari-sari wajahnya. Rojali melihat itu, dan dia merasa kalau misinya telah tuntas pada pagi hari itu. Dia ingin kembali ke atas.
"Anwar..." panggil Rojali
Anwar terbangun, bergegas dia berjalan mendekati ayahnya itu, "Ya bi.. ?" tanya Anwar.
Rojali menunjuk sesuatu, Anwar mencoba memahami maksudnya, menyadari kalau Rojali mengajak Anwar untuk melihat sesuatu. Anwar memandangi seseorang anak kecil yang sedang berlari-lari di antara blok kebun teh dengan begitu riang gembira. "Itu Raffa" pikir Anwar setelah menyadarinya. "Bi itu cucu Abi, dia bernam---"
Belum selesai memberitahu, Rojali memotong pembicaraan, "Aku sudah tahu nak, dia sama sepertimu. Dia adalah anak yang penuh dengan antusiasme yang tinggi.." ujar Rojali, perlahan suaranya mulai lirih tertiup angin.
"Nak.." Rojali memegang pundak putra sulungnya itu. Anwar merasa kalau akan kehilangan sesuatu untuk kesekian kaliannya.
Sekali lagi, angin berdesir dengan begitu kencang. Rojali memandang putranya itu dengan bangga. Pundak Anwar ditepuk, dan dipegang dengan begitu erat, Rojali hendak mengucapkan selamat tinggal kepada putra sulungnya itu. "Aku titip mereka kepadamu. Mereka adalah pohon kehidupanmu di masa selanjutnya. Jaga mereka.." suara itu menghilang bersamaan dengan diri Rojali yang tertelan oleh cahaya.
Anwar tersadar, dia terbangun dari pondokan yang renyot itu. Wajah dikusap, tetapi itu terasa begitu nyata, pikir Anwar. "Hei !! Sayang !!" panggil Karina dari kejauhan. Istrinya itu melambaikan tangan dengan suara yang begitu memekik. Tidak lama kemudian, Raffa turut memanggil ayahnya itu, "Abi...!!" Raffa berteriak, walaupun sedikit dipaksakan. Anwar tersenyum, beban pikiran atas masa lalunya itu hilang sirna di kebun teh itu.