Mohon tunggu...
Raihan Sayyidina
Raihan Sayyidina Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Your life is the result of your thinking ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teringat "Belajar Nak, Bukan Kuliah.....

30 Mei 2013   12:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369890354955774242

masih teringat pesan moral yang diberikan sang ayah waktu " pengumuman UMPTN kalau sekarang  SNMPTN"

Seperti lazimnya para lepasan SMU, pikiran anakku dipenuhi pilihan: "Kalo tidak lulus UI, pilih UA, cadangannya UE, cadangan keduanya UO dan seterusnya dan seterusnya.

Dan aku, bapak yang tak tau banyak soal universitas ini, dimintai nasihat: "Yah, boleh ga ke ITB jurusan IT, boleh ga ke ITC jurusan planologi, boleh ga ke ITD jurusan Kampung Melayu dan seterusnya dan seterusnya.

Maka inilah nasihat ayah ku, jawaban seorang awam universitas, yang akhirnya kutulis setelah kepergianya di catatan ini:

Nak, terserah kamu lah. Yang penting kamu berminat dan faham betul konsekuensi dari pilihanmu. Ayah hanya menginginkamu belajar. Dan belajar tak selalu berarti kuliah. Bahkan ayah tak mau pikiranmu dibebani keinginan kuliah di institut ini dan universitas itu. Bilapun kamu memilih tidak kuliah, ayah dukung kamu.

Beban berat orangtua sebenarnya bukan biaya kuliah anak-anaknya, tapi anggapan bahwa anak itu harus kuliah. Karena itu mereka akan mengusahakan biaya itu habis-habisan, tak peduli seberapa mahal dan seberapa tidak masuk akal. Kenapa? Jerih payah itu akan terbayar oleh kebanggaan

Hmm..kebanggaan.

Ayahmu sudah berhasil terbebas dari anggapan umum itu. Dan ayah ingin kamu juga. Engkau sudah bisa hidup sekarang dan detik ini juga, tapi keinginan sekolah, kuliah, karena orang-orang lain juga kuliah, sudah menghilangkan kemampuanmu untuk hidup mandiri.

Dan setelah engkau nanti kuliah, masuk semester dua, tiga, empat..keberanianmu untuk hidup semakin terkurangi sejalan dengan hitungan semester. Jika engkau tak pernah berpikir menjadi sarjana anu atau doktor ana, engkau bisa langsung hidup mandiri, entah memproduksi pisang goreng atau bubur ayam seperta Pak Ahmad tetangga kita yang lulusan SMU.

Tapi setelah kuliah nanti, mulai ada sekat yang mengekangmu. Sekat ketakpantasan. Sekat gengsi. Sekat 'jaim'. Engkau tak akan berani berpeluh mencuci piring berjualan makanan warteg, atau membuat cindera mata kantong ponsel atau tas tablet, yang bisa engkau lakukan sekarang juga

Jangan salah faham, ini bukan saran untuk tidak belajar. Justru ini saran paling nyata untuk belajar -- belajar hidup secara langsung. Tidak melalui teori-toeri yang semakin tak nyambung dengan kenyataan. Sebutkan engkau ingin belajar apa? Sebutkan. Engkau bisa mulai pelajari sekarang dan detik ini juga -- tentu tidak dari universitas, tapi dari alam sekelilingmu. Cari buku-buku tentang ilmu atau keahlian yang kamu minati, temui orang-orang yang menguasainya, pelajari sendiri. Engkau akan bisa lebih cepat dari kuliah 70 semester. Tapi tentu engkau tak akan dapat ijazah dan gelar. Maka kukatakan ini padamu: persetan dengan ijazah dan gelar. Bukan itu yang kuinginkan darimu.

Lihat sekelilingmu, Nak. Betapa banyak anak muda yang dilemahkan oleh perguruan tinggi. Kekuatan utama mereka adalah selembar kertas yang bernama ijazah. Dan entah kenapa, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan lembaga pemerintah dan non-pemerintah tertipu olehnya. Lembaga-lembaga menerima calon pegawai berijazah sebuah institut pertanian, dengan saringan ketat. Para lulusan institu itu rela bersaing bahkan dalam bidang yang bukan kebisaannya, seperti bank, mall, sampai perusahan pembabat hutan, tapi tak satu pun mereka terjun ke sawah, yang tak mensyarat ijazah, padahal dunia persawahan sangat membutuhkan mereka. Padahal dunia pertanian kita semakin terpuruk.

Jika kamu mengira Ayah akan bangga bila kamu lulus kuliah dengan kesadaran kelas: hanya bisa bekerja dengan gaji pantas di perusahaan serakah yang menguras sumber daya alam negerimu, rakyatmu, kamu salah kira. Atau kamu menjadi petinggi negara yang begitu permisif terhadap cara-cara lancung memperkaya dan menyamankan diri, kamu juga salah kira.

Atau kamu menjadi 'akademisi', yang meneliti karena proyek, omong dengan bahasa planet luar galaksi, membangga-banggakan tulisannya yang dimuat di 'jurnal internasional' yang tak diketahui siapa pun kecuali teman-teman dekatnya, kamu juga salah kira.

Ayah akan lebih senang bila kamu hidup dan tumbuh dengan peluh kerja nyata, entah di kebun atau bengkel -- bekerja dengan penuh kejujuran, kesetiaan dan rasa syukur atas apa yang diperoleh. Setiap rupiah yang kamu dapat bersih adanya, menjadi berkah bagimu dan anak-istrimu; menjadi daging tulang dan urat syaraf jasmani-rohani yang sehat.

Dan yang lebih penting: keberadaanmu menguatkan akhlak dan kesejahteraan saudara-saudaramu, bukan mengakali dan mencurangi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun