Mohon tunggu...
Fariz HIdayat
Fariz HIdayat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa program Fast Track Teknik Kimia ITS Surabaya\r\nPenulis, Peneliti Junior Pengendalian Proses, Seputar indonesia Inovation Award 2012\r\nvisit me : profarizhidayat.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ambisi Menjadi Pemimpin

3 Maret 2013   12:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:24 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sering sekali terjadi adanya perdebatan perihal ambisi menjadi seorang pemimpin, ada yang mengatakan itu adalah hal yang salah sebagian yang lain berpendapat ambisi menjadi seorang pemimpin adalah hal yang dibenarkan. Disini saya tidak akan membahas panjang lebar, dan memihak salah satu pendapat mengenai perihal klasik tersebut. Tetapi ada sebuah pernyataan menarik yang perlu kita kupas lebih dalam, lebih tepatnya sebuah nasihat dari Ki Ageng Suryomentaram, yang dikutip oleh Goenawan Mohamad, Koran tempo 19 Oktober 2008 dengan judul artikel “Pleonoxia”, berikut ini :

Yang menangis adalah yang berpunya

Yang berpunya adalah yang kehilangan

Yang kehilangan adalah mereka yang ingin

Nasihat tersebut sangat menyentuh di hati jika kita sudah mengupas apa makna nasihat Ki Ageng Suryomentaram tersebut.

Yang menangis adalah yang berpunya, kalimat pertama ini dimaksudkan kita akan menangisi yang kita punyai. Ada sebuah pepatah mengatakan orang yang mabuk kekuasaan akan menyesal saat dia sadar dari mabuknya. Di kalimat ini juga bisa diartikan bahwa kurangnya rasa syukur saat kita memiliki sesuatu, ingin menjadi seseorang yang lebih ditonton di panggung hingga melupakan sebuah kewajiban utama miliknya, dan saat kehilangan, kita tidak punya alasan apapun untuk menangis.

Yang berpunya adalah yang kehilangan, kalimat kedua ini cocok dengan kalimat pertama, misalkan saat kita memiliki jabatan menjadi pimpinan organisasi, suatu saat jabatan itu hilang, dan yang kehilangan adalah kita sendiri bukan orang lain. Jika kita memiliki mobil Ferrari merah termahal, suatu saat mobil tersebut dicuri, maka yang merasa kehilangan adalah kita sendiri bukan orang yang tidak memiliki mobil Ferrari tersebut.

Yang kehilangan adalah mereka yang ingin, kalimat ini cocok bagi orang-orang yang sangat ambisius mengejar posisi tertentu, mempertahankan sekuat tenaga kekuasaan mereka dengan jalan-jalan yang di luar logika dan ilmu dunia. Seperti ditulis oleh Alfan Alfian pada buku “Menjadi Pemimpin Politik” kalimat ketiga ini adalah peringatan bahwa memiliki hasrat menjadi penguasa berarti harus siap untuk “kehilangan’.

Dan lebih menarik lagi, menurut hemat saya ketiga kalimat tersebut adalah sebuah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, artinya setelah adanya kalimat ketiga maka akan kembali pada kalimat pertama. Sehingga jika kita ingin memiliki kita harus siap menjadi orang “Yang menangis”. Oleh karena itu Gus Dur berkata saat anda ditunjuk menjadi seorang pemimpin maka ucapkanlah Innalillah, bukan Alhamdulillah, karena anda akan menjadi orang “Yang menangis” di akhir. Kalau ingin menjadi “apa-apa” hendaknya kita siap untuk tidak menjadi “apa-apa”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun