Menjadi seorang yang beragama di Indonesia sangatlah mudah dan bebas. Kita pastinya bisa dengan mudah dan bebasnya mengakui agama kita ke depan khalayak umum. Karena Indonesai sendiri mengakui keberadaan agama di lingkaran kehidupan sehari-hari. Buktinya adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanaan yang maha Esa”.
Sebagaimana yang kita tahu, Pancasila adalah ideologi atau dasar Negara Indonesia. Suatu dasar dalam pelaksanaan kehidupan kita sehari-hari. Artinya, dengan adanya sila pertama itu, Indonesia secara tidak langsung menyetujui dan mengakui keberadaan agama dalam pelaksanaan kehidupan masyarakatnya.
Namun, tidak semua agama yang ada di dunia ini diakui oleh pemerintah Indonesia. Hanya ada enam agama saja yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang merupakan revisi terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 hanya diakui enam agama di Indonesia. Yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu (Confusius). Tetapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menjadi seorang muslim di Indonesia sangatlah mudah dan nyaman. Jumlah muslim di Indonesia sangatlah banyak. Yaitu berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penganut agama islam mencapai 209,12 Juta jiwa atau 87 persen dari populasi yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan agama islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Angka tersebut juga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di Dunia.
Hal tersebut dengan mudah menjelaskan bahwa menjadi seorang muslim di Indonesia sangatlah bebas dan mudah. Bebas dan mudah yang kita bahas di sini adalah kebebasan serta kemudahan dalam beribadah dan melaksanakan kegiatan keagamaan lainnya. kenapa bisa dibilang mudah? Karena di Indonesia banyak sekali masjid dan musholla yang berdiri.
Hampir di setiap kota, dapat dipastikan bisa menemui minimal satu buah masjid yang berdiri. Bahkan di pemukiman yang sangat padat pendudukpun, pasti ada masjid atau musholla yang berdiri dan digunakan oleh penduduk setempat. itulah salah satu contoh kemudahan muslim dalam menjalankan ritual agamanya. Namun, bagaimana dengan saudara-saudara muslim kita yang berada di negara yang penduduknya mayoritas non-muslim?
Walaupun di Indonesia sendiri muslim tidak sepenuhnya terlepas dari masalah. Namun tantangan yang dihadapi oleh muslim Indonesia tidak serumit dengan saudara-saudara Muslim di negara-negara lain dimana mereka menjadi minoritas. Menjadi Muslim di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim tidaklah mudah, penuh dilema, dan duka. Di satu sisi, mereka harus memegang teguh keyakinan agama terutama dalam praktik ibadah sehari-hari, di sisi lain mereka perlu menyesuaikan diri dengan ritme dan pola hidup yang berbeda di lingkungannya. Mereka menghadapi berbagai tantangan untuk menjalankan keyakinannya. Butuh perjuangan ekstra untuk tetap istiqamah menjalankan keislamannya.
Setelah serangkaian aksi teroris di banyak tempat di dunia yang mengatasnamakan Islam, dunia Barat dilanda Islamophobia akut. Banyak tantangan dan masalah yang harus dihadapi orang Muslim. Tidak hanya berkaitan dengan kebijakan pemerintah setempat yang tidak adil, tetapi juga dengan warga masyarakatnya yang seringkali menaruh curiga kepada mereka. Dengan dalih hak asasi manusia, beberapa negara memang memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap warga Muslim. Namun, tak sedikit pula negara yang bertindak represif dan diskriminatif, setidaknya membatasi gerak-gerik mereka.
Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Nasaruddin Umar, secara gamblang menjelaskan kondisi umat Islam yang hidup di negeri non-Muslim. Penjelasan tersebut terangkum dalam buku ‘Geliat Islam di Negari Non-Muslim’. Buku ini merupakan catatan perjalanan Imam Besar Masjid Istiqlal itu ke beberapa negara di mana orang islam menjadi minoritas. Ketika berkunjung ke beberapa negara di Eropa, Asia dan Amerika, ia banyak bertemu dan berdialog dengan banyak kalangan mengenai kondisi saudara-saudara Muslim di negara-negara tersebut.
Imam Besar Masjid Istiqlal itu, menemukan bahwa masyarakat muslim yang menjadi minoritas di beberapa negara non-muslim mempunyai komunitas islam yang kuat. Mereka memiliki ikatan yang erat mungkin karena mereka sama-sama berjuang sebagai kaum minoritas. Tidak jarang, KH. Nasaruddin Umar menemukan bahwa semangat mereka untuk terus mengembangkan islam sangatlah tinggi.
Namun, mereka seringkai terhalang oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah yang sering bernada diskriminasi kepada kaum muslim di negara tersebut. Serta mereka memiliki keterbatasan dalam juru dakwah, guru agama, maupun guru mengaji karena masih sedikit orang yang merupakan islam dari lahir. Kebanyakn dari mereka adalah islam mualaf. Sehingga mereka sangat mengaharapkan bantuan yang datang dari negara-negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam, contohnya adalah Indonesia.