Mohon tunggu...
Fariz Alniezar
Fariz Alniezar Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia.... untuk tetap berfikir Waras dalam keadaan se"sakit" apapun...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memoar di Ketiak Pesantren I: Sebuah Keluh Kesah

31 Juli 2012   03:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memoar Perjuangan di Ketiak Pesantren

Bismillah,

Kata orang bijak orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya di saat emosinya mencapai titik kulminasi. entah siapa yang berkata seperti itu tapi yang jelas kalimat itu sungguh menacap di hati saya, dengan tekad bulat akan selalu saya simpan dalam memori otak, akan  saya perlakukan ia sebaik mungkin, saya protect agar tak kabur oleh derasnya godaan dan saya harap goal-nya nanti suatu saat tatkala saya mendapati emosi pada diri tinggal saya klik aplikasi tersebut, maaf terlalu karikatural..

Entah mengapa saya selalu merinding dan gemetar ketika menyaksikan seseorang marah dan meluapkan emosinya dihadapan saya, setiap saya menyimak dengan seksama maka setiap itu pula saya merasakan seluruh mekanisme yang ada di tubuh ini berhenti barang sejenak kemudian bergetar, ketakuatan dan hampir saja ketakutan saya menyamai ketakutan Muhammad tatkala mendapati sosok Jibril di hua hiro’.

Karena saya tak mengerti maka saya pakai metode klaim-mengklaim sajalah,,,,anggap saja saya sedang marah. Anda tentu tahu bagaimana sakitnya jika kita dihianati oleh orang lain terlebih orang terdekat kita. Anda juga bisa membayangkan betapa sulitnya jika kita disuruh untuk bertepuk sebelah tangan. Cobalah tepukkan tangan anda sebelah saja jikalau bunyi anda saya sarankan untuk sesegera mungkin menghubungi Jaya Suprana  agar sesegera mungkin sampeyan di masukkan ke dalam MURI yang sering saya panjangkan menjadi museum rekor irrasional, kenapa gak masuk akal? Karena yang masuk MURI hanya yang terekspose oleh media sedangkan banyak yang tak terjamah oleh media dilewati saja oleh MURI, asal anda tahu tetangga saya punya anak 20 dari satu istri mestinya ia masuk muri karena dalam sejarah manusia Indonesia belum ada yang punya anak mencapai angka fantastis itu.

Sebegitukah penting nomenklatur marah bagi saya? mengapa saya harus menguraikan hal ihwal marah-memarah? bukankah lebih banyak hal yang lebih penting di hampir setiap segmen kehidupan kita, agama, negara, ormas, pemerintah, artis menikah di mekkah dan juga tentang para mafia yang sengat merajalela? ah sudahlah,,lupakan sejenak masalah makro kehidupan kita.  Yang jelas saya serius perihal makna marah.

Saya harus berterus terang bahwa saat merangkai tulisan ini saya sedang dinaungi oleh perasaan yang saya sendiripun tak sanggup untuk merumuskannya, saya juga tak mengerti mengapa saya sendiri pun sampai tak mengerti tentang kedidakmengertian saya terhadap apa yang harus saya ngerteni sehingga dengan ketidak ngertian saya pada hal yang seharusnya saya ngerteni, maka saya harus menerima dengan sportif dan fair bahwa saya tak ngerti.

Kembali ke masalah penghianatan, hampir setahun saya mengabdikan diri, men-jariyahkan kemampuan dan men-shodaqohkan jiwa raga pada almamater tersayang saya, dengan semangat keihlasan yang kadang naik turun saya terus terang tertatih-tatih dalam membangun spirit perjuangan pengabdian saya di almamater ini, mengapa? Karena banyak hal yang sebetulnya diam-diam menjadi PR saya.

Me-recovery karakter Az-Ziyadah (nama komplek di Pesantren Saya) tercinta, mental nadloman laskar sorogan, mati-urip lalaran dan satu lagi jamaah harian, walaupun hal itu tak dimandatkan langsung pada saya tapi sungguh dalam hati ini ingin sekali saya melihat Az-Ziyadah yang dulu lagi. Karakter santri yang khas tiada duanya di mamba’ul ma’arif pendidikan kitab gundul yang cumlaude di antar sekian belas asrama komplek lain dan satu lagi loyalitas santri terhadap almamter. Dan asal anda tahu untuk saat ini tak satupun aspek yang saya sebut di atas masih di miliki oleh Az-Ziyadah.

Sulit tapi pasti bisa, itulah satu-satunya kalimat yang saya jadikan jimat agar saya tak sampai terjatuh tatkala saya merasakan bahwa perjuangan saya sia-sia, saya pemain tunggal dan harus mengadapi sekian problem yang saya sendiri pun belum tentu mampu untuk mengatasinya, tapi sudahlah semoga Allah memberi jalan yang  terbaik bagi Az-Ziyadah dan juga saya.

Dari timing, saya datang memang pada saat yang kurang tepat, saat di mana pesantren ini secara globlal penuh dengan masalah, pendidikan yang morat-marit persaingan tak sehat antar lembaga, ketidak jelasan kurikulum, kedisiplinan civitas pesantren yang lemah dan juga semakin mengguritanya sekolah formal. Bukan saya membenci sekolah formal, tapi bukankah lembaga-lembaga formallah yang merusak mental anak bangsa ini? Merekalah yang “mengajarkan” ketidak jujuran, keculasan sarta kemunafikan pada peserta didik. Adakah sekolah yang sangat sportif mengakui bahwasannya kualitas belajar-mengajarnya kurang baik jika mendapati siswanya tak lulus UNAS? alih-alih mengakui dan intropeksi diri mereka malah melakukan berjuta-juta trik munafik agar semua siswanya bisa lulus dengan hasil yang mereka anggap sebagai hasil yang “baik”. Memang  seburuk-buruknya cara untuk mendapatkan kebaikan masih lebih baik daripada sebaik-baiknya cara guna mendapat kejelekan? Yughtafaru fil wasail ma la yughtafaru fil maqoshid.....

Tapi lihatlah, cara mereka mendidik? Bisakah dikatakan cara mendidik yang baik? Tentu pendidikan yang baik adalah yang memperlakukan anak didik sebagai manusia serta subyek terpenting dalam pendidikan bukan diperlakukan seperti barang komoditi-mati dijejali pelajaran sana-sini yang tak jelas orientasi. Juga Tentu saya juga tak perlu membeberkan beberapa “usaha manusiawi” lainnya yang dilakukan oleh pelaku pendidikan-pendidikan formal demi meraih predikat lulus yang saya kira bersifat profan dan nisbi. Sungguh sebuah ironi....

So, anda pastinya juga maklum dan paham mengapa saya sangat benci pada pendidkan di sini, wa bil husus and specially lembaga pendidikan formal.

Sementara itu, selama setahun di sini saya merasa hidup di hutan belantara, sepi dan penuh teka-teki. Saya merasa hidup sendiri—tentu dengan semangat yang tertatih-tatih—saya merasa tak satupun orang peduli dan gati dengan ketidak jelasan pendidikan di pesantren ini, tapi maaf sekali-lagi ini hanya perasaan saya, tapi sungguh saya serius dengan perasaan ini. Mengapa? Karena ada beberapa fakta temuan empiris yang saya kira sangat logis jika saya hubungkan dengan perasaan saya di atas. Setiap kali saya ingin menumpahkan keluh kesah saya tentang pesantren tercinta saya tak menemukan respect yang positif dari pihak yang juga bergulat di pesantren ini, maaf bila saya salah tapi inilah sungguh fakta yang saya pahami berdasarkan pengamatan pribadi.

BERSAMBUNG INSYAALLAH...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun