Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
(Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat 3)
Pasal 28H ayat 3 UUD 1945 merupakan dasar dari adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Selain pasal diatas, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pun menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Pada tahun 2004 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang ini mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk program Jaminan Kesehatan yang dikelola melalui suatu badan bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Program yang diberi nama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun disambut dengan gembira oleh rakyat Indonesia setelah sekian lama mendengar dan merasakan betapa sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan.
10 bulan sudah program ini berjalan, pro dan kontra pun mulai bermunculan dikalangan masyarakat mengenai program ini. Masyarakat yang awam akan pelayanan ini pun mulai mengeluhkan ketika sistem dari pelayanan kesehatan diubah sesuai dengan ketentuan SJSN.Keluhan mengenai sistem rujukan atau permasalahan sekitar pelayanan kesehatan pun mulai terdengar. Seperti saat penulis mendengar salah satu keluhan dari pasien JKN yang mengeluhkan akan sistem rujukan yang menyulitkan Beliau dalam mengakses pelayanan kesehatannya.
“Ribet. Ketika Saya berobat menggunakan BPJS. Saya harus ke Puskesmas terlebih dahulu untuk mendapatkan pengatar rujukan ke poli bedah RSUD yang jaraknya jauh dan cukup memakan waktu, tapi sesampainya di RSUD nomor antrian sudah habis”
Keluh Beliau saat menceritakan pengalamannya ketika harus menggunakan Program JKN. Lebih lanjut Beliau menuturkan ketika keesokan harinya Beliau kembali ke RSUD, dan tiba disana pukul 06.00 pagi, namun tetap tidak kebagian nomor antrian.
“Entah harus datang jam berapa hanya untuk mengantri mengambil nomor antrian yang dibuka pada pukul 7 dan dokter baru melayani pada pukul 9 pagi”
Ternyata untuk poli bedah itu sendiri setiap harinya melayani 30 pasien saja dengan hanyasatu dokter yang bertugas praktik. Maka dapat dibayangkan berapa banyak orang yang harus kembali lagi ke rumah tanpa mendapatkan pelayanan apapun. Keluhan ini memang baru 1 orang saja yang di dengar secara langsung oleh penulis namun dapat dibayangkan berapa banyak keluhan yang diterima oleh BPJS apabila setiap pasien BPJS harus menuliskan kesan terhadap pelayanan yang diterima olehnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, ada baiknya apabila Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) membuat sebuah sistem yang saling terintegrasi satu sama lain untuk memudahkan Pasien BPJS dalam mengakses pelayanan tersebut. Pengoptimalan PPK haruslah terus digalakkan dikarenakan universal coverage sebagai tujuan akhir dari BPJS membutuhkan banyak PPK untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia.
Fasilitas kesehatan tingkat lanjut di wilayah perbatasan juga menjadi salah satu permasalahan yang haruslah ditangani. Jika kita melihat kondisinya saat ini, banyak peserta BPJS yang menetap di wilayah perbatasan operasional BPJS contohnya antara Depok dengan Jakarta selatan, dan Jakarta selatan dengan Jakarta timur. Jika mereka sakit lalu harus dirujuk dan rumah sakit yang lebih dekat adalah yang diluar daerah operasional BPJS tempat mereka terdaftar, apakah mereka dapat dirujuk kesana atau harus ke rumah sakit daerah tersebut yang letaknya lebih jauh padahal peserta tersebut dalam keadaan sakit? Apakah sudah ada sosialisasi atau kejelasan dari BPJS untuk mereka yang tinggal diperbatasan bisa mendapatkan pengecualian dengan boleh berobat ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka?
Masyarakat berharap lebih dengan program ini. Mereka berharap program ini dapat menjamin mereka ketika menderita jatuh sakit. Melalui program ini diharapkan tidak lagi terdengar slogan yang mengatakan “orang miskin di larang sakit”. Selain permasalahan sekitar PPK, permasalahan sosialisasi pun turut menjadi masalah yang harus ditangani. Banyak masyarakat yang belum terpapar oleh informasi mengenai prosedur pelayanan BPJS. Bisa jadi permasalahan sosialisasi menjadi titik awal permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan BPJS karena walaupun sudah berjalan selama 10 bulan, kurangnya sosialisasi dari pihak BPJS kepada pesertanya mungkin menjadi salah satu alasan mengapa banyak pasien BPJS yang mempermasalahkan sistem rujukan antar PPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H