Pada era Jaminan Kesehatan Nasional ini, tidak menutup kemungkinan terhadap terjadinya fraud. Namun masih dianggap suatu hal yang baru dan orang Indonesia masih belum begitu aware akan fraud yang dilakukan oleh pihak tertentu. Definisi Fraud itu sendiri yang tertera dalam “Black’s Law Dictionary” yang dikutip Ilyas (2011) menyebutkan bahwa fraud adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa orang melakukan tindakan criminal), menutupi sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang salah. Secara sederhana, fraud merupakan
Segala bentuk kecurangan yang dilakukan berbagai pihak untuk memperoleh manfaat program layanan kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya.
Pada pasar asuransi kesehatan, fraud dapat dilakukan oleh peserta, provider maupun penyelenggara dalam hal ini BPJS Kesehatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moertjahjo dari Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia padahttp://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=23&mid=5&nid=1349yaitu:
“Modus para peserta, memalsukan identitas agar eligible atau membuat pernyataan yang tidak benar dalam mengajukan klaim. Sedangkan provider, melakuan fraud dengan melakukan upcoding, unservice serta modus-modus lainnya. Di pihak penjamin atau penyelenggara, fraud terjadi ketika benefit yang diberikan tak sesuai janji, atau tidak memberi hak benefit kepada peserta yang sebenarnya,”
Menurut Ilyas (2011) dalam http://hukum.kompasiana.com/2014/10/12/apakah-bagaimana-dan-siapa-pelaku-fraud-program-jkn-itu-694974.htmlpelaku fraud program JKN terbesar pertama adalah pelaksana pelayanan kesehatan, kedua adalah peserta program JKN, dan yang ketiga adalah penyelenggara program JKN, yaitu BPJS Kesehatan. Besarnya fraud yang dilakukan oleh pelaksana pelayanan kesehatan salah satunya dapat disebabkan karena adanya peluang untuk melakukan kecurangan, kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang, serta hukum yang masih belum kuat untuk mengatasi permasalahan fraud yang ada di Indonesia. Kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang terhadap permasalahan pelayanan kesehatan mungkin dikarenakan nilai/dana yang terlibat besarnya relatif kecil sehingga tidak menjadi target para penegak hukum. Namun apabila dana-dana tersebut diakumulasikan, hasil kerugiannya akan sangat besar.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pelaksana pelayanan kesehatan merupakan yang paling banyak melakukan fraud. Salah satu pelayanan kesehatan yang kita tahu yaitu fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau faskes primer yang seringkali luput dari pengawasan terhadap fraud karena masyarakat lebih condong terhadap fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL) yaitu rumah sakit. Artikel mengenai fraud yang dilakukan oleh FKTL sudah banyak dimuat diberbagai media massa, namun mengenai fraud yang dilakukan oleh FKTP masih jarang penulis temui.
Pembayaran pembiayaan kesehatan kepada FKTP dilakukan melalui dua cara, yaitu kapitasi dan non-kapitasi. Dimana pembayaran kapitasi ini tarifnya sekitar Rp 6.000 dan dikalikan dengan jumlah peserta yang terdaftar pada FKTP tersebut. Sedangkan pembayaran non-kapitasi dilakukan untuk klaim rawat inap dan persalinan pada FKTP setiap bulannya. Disinilah “permainan” dilakukan.
Salah satu contoh real yaitu pada salah satu FKTP di Jakarta sebut saja FKTP X. FKTP X melakukan penagihan terhadap tindakan-tindakan medis yang sebenarnya tidak dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Pada bulan Y, FKTP X menagihkan biaya klaim non-kapitasi ke BPJS Kesehatan yang terdiri dari 70 berkas klaim persalinan dengan berbagai macam jenis persalinan yang dilakukan, antara lain persalinan normal, pelayanan paska persalinan (dengan tindakan), dan pelayanan pra rujukan dengan besaran biaya yang berbeda-beda tiap pelayanan.
Dari 70 klaim persalinan yang ditagihkan terdapat 22 klaim yang dilakukan upcoding. Dalam hal ini, upcoding yang dilakukan adalah pada formulir pengajuan klaim yang tertera dikolom tindakan tidak sesuai dengan yang terlampir pada berkas klaim persalinan peserta tersebut. Jika dihitung, dari 22 klaim yang seharusnya ditagihkan sebagai persalinan normal sebesar Rp 600.000, tetapi ditagihkan sebagai persalinan dengan tindakan sebesar Rp 750.000, sehingga selisih yang didapat dari total keseluruhan adalah Rp 150.000 x 22 = Rp 3.300.000. Memang nilainya terlihat kecil namun jika dalam satu kota madya terdapat 15 FKTP yang melayani persalinan dan rata-rata melakukan fraud yang sama, maka dalam satu bulan total kerugian pada satu kota madya yaitu sebesar Rp 49.500.000. Di DKI Jakarta terdapat 5 kota madya maka total tadi dikalikan 5 maka diperoleh kerugian sebesar Rp 247.500.000 per bulan dan Rp 2.970.000.000 per tahun. Angka yang tadinya terlihat kecil, namun jika diakumulasikan dapat menghasilkan total yang sangat besar untuk suatu kerugian.
Oleh karena itu, pengawasan dari pihak berwenang sangat diperlukan dan fraud sekecil apapun seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan baik. Salah satu yang dapat dilakukan oleh pihak BPJS Kesehatan adalah melalui verifikator klaim FKTP. Ketelitian seorang verifikator dalam memeriksa setiap berkas klaim merupakan kunci untuk mencegah terjadinya suatu kerugian yang diakibatkan karena fraud dan apabila verifikator menemui hal tersebut, maka data tersebut dapat digunakan untuk pelaporan kepada kepala unit manajemen pelayanan kesehatan primer dan tindaklanjut selanjutnya yaitu dilakukan sosialisasi mengenai fraud ke FKTP tersebut agar tidak lagi melakukan hal seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H