PEMILIHAN Gubernur DKI Jakarta semakin dekat. Tepat pada 11 Juli 2012 mendatang, seluruh masyarakat Ibukota akan memberikan pilihannya untuk menentukan masa depan Jakarta lima tahun ke depan. Enam pasangan yang ada, Foke-Nachrowi, Hendardji-Riza, Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, Faisal-Biem, dan Alex-Nono akan sama-sama bertarung memperebutkan kursi DKI-1 dan DKI-2. Tak bisa dielakkan lagi, saling sindir, saling mengkritik, hingga saling menyerang antara sesama pasangan tak jarang pun berbuntut polemik dan cenderung membingungkan publik.
Wajar saja dalam ranah demokrasi terjadi aksi saling kritik, apalagi dalam pertarungan politik menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang tinggal beberapa saat lagi. Preferensi publik yang menjadi penentu kemenangan membuat masing-masing pasangan berusaha sekuat tenaga memikat hati rakyat dalam bentuk kontrak politik, meski seringkali bersubstansi retorik dan ilutif. Semua mereka lakukan dengan tujuan sama dan terdengar melenakan: demi kepentingan rakyat. Memang tidak mudah memimpin 9.607.787 jiwa di DKI Jakarta (BPS, 2010), dibutuhkan keberanian, rela berkorban, dan semangat tiada surut untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik setahap demi setahap. Seperti penjelasan gejala inside lags (kelambanan dalam) dalam Teori Stabilitas Ekonomi, yakni untuk setiap fenomena sosial ekonomi yang terjadi sampai pada implementasi perumusan kebijakan, maka pemerintah perlu penyesuaian waktu. Analoginya seperti sulitnya nahkoda mengendalikan kapal laut yang besar. Oleh karena itu perlu adanya sinergi yang baik antara pengambil kebijakan (gubernur terpilih) dengan masyarakat. Masyarakat yang cerdas-partisipatif sangat dibutuhkan demi menyukseskan hajat lima tahunan ini. Sebab pilihan saat ini akan menentukan bagaimana wajah Jakarta selama lima tahun ke depan. Rakyat dituntut cerdas dalam memilih, tidak golput, dan menyelaraskan dengan nurani masing-masing. Jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari. Partisipatif berarti masyarakat diharapkan aktif terhadap perkembangan pemilukada saat ini, tidak apatis, bahkan pasrah terhadap keadaan. Tidak mau tahu bukanlah ciri seorang muslim. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah bersiyasah (berpolitik), yaitu ketika dalam perjanjian Hudaibiyah dan saat Rasulullah melakukan perjalanan memutar arah ketika berhijrah ke Madinah untuk mengelabui Quraisy yang menghentikannya. Maka, bangsa ini jelas membutuhkan masyarakat, khususnya pemuda yang mampu menebarkan semangat optimisme, yakin akan suatu saat lingkungannya tercerahkan dengan kapasitas yang dimiliki, dimulai dari lingkungan kecil, saat ini, bergerak cerdas, dan tidak apatis dalam isu-isu yang terjadi.● FARIZ ABDILLAH Kepala Departemen Muslim Development Center FSI FEUI mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H