Mohon tunggu...
Fariz Rifqi Hasbi
Fariz Rifqi Hasbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Hukum di- Universitas Islam Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gonjang-ganjing Lembaga Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejak Orde Lama sampai Sekarang

20 Desember 2013   16:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa Orde Lama, dua Lembaga Pemberantasan Korupsi telah dibentuk. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan dokrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi oleh kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas keluar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidak seriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan  atas kasus korupsi di Pertamina sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah operasi tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up dan top down dikalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh Bachruddin Jusuf Habibie dengan mengeluarkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN),  KPPU atau lembaga Ombutsman. Presiden berikutnya Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU No 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN ,  dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap.

Kini KPK masih menjaga eksistensinya dalam memberantas kejahatan luar biasa itu (red ; korupsi). Monitoring dan dukungan yang dilakukan masyarakat diharapkan mampu membawa KPK ke garda terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Forum Keadilan No 31/30 November-06 Desember 2009, hlm 44.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun