Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi dan Konspirasi di Bulan September

11 September 2010   14:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebetulan hari raya Idul Fitri kali ini atau yang lebih populer disebut Lebaran (di Indonesia) bertepatan dengan bulan Sepetember menurut kalender Masehi. Ditengah kesibukan menyambut dan merayakan Idul Fitri. Saya teringat dua peristiwa yang saya pikir sangat berdampak pada umat Islam di Indonesia dan dunia. Walau pun berseleisih waktu yang amat panjang (17 tahun). Luar biasanya, ada kehendak Allah supaya peristiwa tersebut mudah diingat atau diingat kembali karena terjadi pada tanggal yang berurutan 11 dan 12 September. Tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih memanipulasi keluhan-keluhan historis (Richard Goldstone). 12 September 1984: Tragedi Umat Islam Indonesia Itulah kata-kata Richard Goldstone, mantan koordinator Jaksa Penuntut di Pengadilan Pidana Internasional untuk kasus Yugoslavia dan Rwanda. Yang saya kira bisa menggambarkan konspirasi-konspirasi jahat dari sebuah rezim. Di bulan September ini, khususnya pada tanggal 11 dan 12 September memiliki sebuah makna bagi umat Islam di dunia dan khususnya di Indonesia untuk tanggal 12 Septembernya. Bung Karno pernah berpidato dalam sebuah pidato yang bertajuk Jasmerah yang merupakan akronim dari: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sayangnya sejarah ditulis secara subjektif, yaitu berdasarkan versi penguasa atau pihak yang menang. Tetapi sebuah kebohongan sejarah akan selalu dikalahkan oleh waktu. Banyak orang mungkin telah lupa pada apa yang terjadi di Tanjung Priok bulan September tahun 1984. Jangankan sebuah peristiwa yang terjadi 26 tahun yang lalu, untuk peristiwa yang baru terjadi satu tahun lalu pun macam Skandal Century, kita barangkali sudah melupakannya. Atau mungkin kita tidak lupa karena koran masih memberitakan perjuangan para korban sampai saat ini, tapi kita tidak peduli. Ya, kita tidak mempedulikannya seperti kita tidak peduli pada peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi lainnya. Mengapa kita bisa tidak peduli pada tragedi kemanusiaan seperti peristiwa Priok? Jawabannya sangat relatif. Pertama, kita bisa tidak peduli karena kita takut. Kedua, kita tak peduli karena tak tahu bagaimana cara untuk peduli. Ketiga, kita tak peduli karena kita telah menjadi manusia tanpa hati nurani. Bila kita tidak peduli karena sebab pertama, itu mungkin karena kita telah dibentuk menjadi manusia-manusia penakut tanpa kita sadari, selama puluhan tahun oleh rezim Orde Bau meminjam istilah Ben Anderson. Bila kita tak peduli karena sebab kedua, berarti kita masih selamat dari wabah ketakutan yang membelenggu hidup kita. Mungkin kita baru terjangkit gejalanya saja. Dan bila kita tak peduli karena sebab ketiga, berarti wabah itu telah meracuni seluruh jiwa raga kita. 12 September 1984, 26 tahun yang lalu di Jakarta tepatnya di Tanjung Priok. Terjadi peristiwa berdarah yang kemudian disebut Peristiwa Tanjung Priok, di bagian utara kota Jakarta. Peristiwa ini menelan korban jiwa sekitar 400 orang ummat Islam, termasuk pimpinannya bernama Amir Biki, yang dibantai secara keji dengan menggunakan senjata otomatis oleh pihak militer. Peristiwa ini terjadi akibat gejolak politik yang sengaja direkayasa oleh pemerintah untuk menyudutkan ummat Islam dan membuat citra ummat Islam terkesan radikal karena menolak azas tunggal (Pancasila). Bertindak sebagai Pangab/Pangkopkamtib ketika itu Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani (Benny Moerdani) dan sebagai Pangdam Jaya Mayjend Try Soetrisno. Kedua tokoh ini, tak terjamah pengadilan. Lanjutan dari peristiwa ini banyak tokoh Islam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan subversif. Apakah Peristiwa semacam Tanjung Priok dapat terulang? Tidak menutup kemungkinan, namun kebencian terhadap Islam tidak serta merta sirna. Kita lihat saja apa yang menimpa Ustadz Abu Bakar Ba'syir yang dituduh sebagai teroris dan FPI yang selalu di fitnah dengan pemberitaan miring dengan cuplikan gambar beberapa tahun yang lalu. Berbicara FPI, apa jadinya jika 26 tahun yang lalu FPI telah ada? tentu umat Islam tidak akan dibantai seperti itu. Dan sepertinya FPI adalah satu ungkapan kegelisahan atas intimidasi umat Islam selama puluhan tahun. 11 September 2001: Konspirasi Jahat Menghancurkan Islam 17 tahun setelah Tanjung Priok, pada 11 septemer 2001 gedung Wall Trade Center di New York dan Pentagon dihantam oleh pesawat sehingga hancur berkeping-keping sekaligus seolah mernghancurkan unilatheralisme Amerika Serikat. Tapi semuanya seperti sebuah skenario busuk Amerika Serikat untuk mengemas sebuah perang atas nama anti terorisme yang ditujukan kepada umat Islam di seluruh dunia disamping menguasai sumur-sumur minyak umat Islam. [caption id="attachment_255323" align="alignright" width="188" caption="eramuslim.com"][/caption] Efek dari setiap konspirasi penguasa yang ditujukan kepada umat Islam adalah untuk menimbulkan Islamophobia. Media-media asing semacam CNN, Fox News, BBC dan sebagainya memberitakan pemberitaan yang tidak seimbang dan proporsional bahkan frame yang mereka bentuk menjadikan Islam bak monster tidur yang seolah jika terbangun membahayakan isi dunia. Perlu disadari, media punya kemampuan melakukan penyesatan opini, termasuk dalam isu terorisme. Celakanya, dalam isu terorisme ini, media cenderung terus-menerus mengaitkannya Islam dan kaum Muslim. Hal ini ditambah dengan tindakan aparat di lapangan yang cenderung berlebihan dalam menyikapi isu terorisme. Semua ini pada akhirnya melahirkan efek-efek negatif dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum Muslim. Efek negatif tersebut antara lain: Pertama: melahirkan sikap saling curiga di tengah-tengah umat, bahkan bisa memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas sangat tidak terpuji dan diharamkan oleh Islam. Kedua, melahirkan tindakan melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain hanya karena curiga atau rasa khawatir yang berlebihan. Ketiga, melahirkan rasa takut di kalangan umat Islam terhadap agamanya sendiri.

Label radikal, fundamentalis, ekstremis dll seolah menjadi virus yang mematikan dan harus dihindari oleh kaum Muslim. Akibatnya, sadar atau tidak, kepribadian umat bergeser menjadi kepribadian yang tidak lagi berpegang teguh pada Islam, karena khawatir mendapatkan label-label negatif tersebut. Dalam jangka panjang, kepribadian umat yang cenderung tidak mau terlalu terikat dengan Islam ini akan melahirkan potret umat Islam yang suram karena makin jauh dari Islam.

Di balik isu terorisme yang cenderung terus-menerus dimunculkan sebetulnya ada propaganda untuk menguatkan satu arus pemikiran dan sikap tertentu, yakni yang selama ini diklaim oleh sejumlah kalangan sebagai Islam moderat, seraya terus-menerus mengucilkan kelompok-kelompok lain yang dituduh Islam radikal.

Padahal semua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Baik istilah Islam moderat atau Islam radikal hanyalah ciptaan Barat penjajah demi kepentingan mereka: memecah-belah kaum Muslim. Islam moderat tidak lain adalah Islam yang bisa menerima semua unsur peradaban Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, sekularisme dll. Islam moderat inilah yang dikehendaki Barat. Sebaliknya, Islam yang anti peradaban Barat akan langsung mereka cap sebagai Islam radikal .

Lebih dari sekedar strategi lunak dengan menggunakan pelabelan seperti di atas, strategi kasar juga dimainkan, misalnya dalam bentuk teror dan intimidasi terhadap para pengemban dakwah Islam, juga pengawasan terhadap pesantren.

Lebih jauh, langkah-langkah lain juga mungkin dilakukan, misalnya memberangus media yang menyuarakan Islam dengan lantang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari konspirasi untuk membungkam situs ar-rahmah.com. Lebih dari itu, mencuatnya kasus Bom Marriott II juga kemudian dijadikan alasan untuk bersikap represif atas nama UU Keamanan Negara, UU Anti Terorisme, dll.

Meski sepertinya isu terorisme dimanfaatkan oleh AS untuk menguatkan Islam moderat, umat Islam harus memahami, bahwa target akhir perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam itu sendiri. Pasalnya, terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika tidak lain adalah Islam, baik moderat atau radikal, dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma Barat ini sebagai newspeak untuk membatasi pandangan dan realita sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negeri-negeri Islam.

Lebih dari itu, dalam Dokumen RAND Corporation 2006 bertajuk, “Building Moderate Muslim Networks” disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam terus dicitraburukkan di mata mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka dan di hadapan kelompok yang diam-diam menjadi pendukungnya. Karena itulah, di antara cara Barat penjajah mencitraburukkan ideologi Islam adalah dengan menyebutnya sebagai ideologi para ekstremis, sebagaimana pernah diungkapkan mantan Presiden AS George W Bush; bahkan sebagai ideologi setan, sebagaimana pernah dinyatakan oleh mantan PM Inggris Tony Blair. Dalam pidatonya Blair menjelaskan ciri ideologi setan, yaitu:

1. Menolak legitimasi Israel

2. Memiliki pemikiran bahwa syariah adalah dasar hukum Islam

3. Kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan Khalifah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun