Bukan bermaksud memprovokasi dan beragitasi tapi saya ingin mengkritik sejumlah media di tanah air dan bahkan Dewan pers. Saya dan anda semua mungkin sama-sama meyakini bahwasanya netralitas media hanya merupakan mitos dan isapan jempol belaka. Karena faktanya memang tidak satu pun media bahkan seorang penulis termasuk saya sendiri, akan selalu menyampaikan sesuatu atau pun merekonstruksikan sebuah peristiwa sesuai dengan kepentingan dan ideologi masing-masing. Karena media tidak lepas dari kepentingan pemilik modal, afiliasi dan patron dari kelompok tertentu. Frame seluruh media tanah air khususnya yang sekuler, saya nilai kurang berimbang dalam membuat pemberitaan tentang umat Islam. Frame media-media sekuler tanah air selalu menyudutkan dan memojokkan umat Islam bahkan tidak jarang merugikan. Kalau kita lakukan analisis framing (bingkai) secara sederhana. Media-media tanah air selalu membingkai umat Islam dalam posisi pesakitan. Misalnya umat Islam bar-bar, arogan, anti HAM dan demokrasi bahkan diidentikkan dengan pelaku aksi terorisme. Dari frame yang dibangun tentunya dapat kita lihat siapa yang tidak bar-bar, tidak arogan, pro HAM dan demokrasi dan seterusnya tentunya yang berkebalikan dari pelabelan yang ditujukan bagi umat Islam adalah umat non Islam. Dari analisis frame sederhana ini bagaimana media merekonstruksikan peristiwa selalu tidak pernah lepas dari kepentingan dan ideologi kelompok tertentu. Karena sebuah pemeberitaan bisa dikatakan secara sederhana hanya penceritaan ulang dari sebuah peristiwa yang bisa dibuat sedemikian rupa sehingga untuk mendukung argumentasi kepentingan kelompok tertentu, biasanya teknik pengulangan, simbolisasi dan penekanan sering dipakai. Konsekuensinya ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Jadi jika netralitas dan independensi media saya sebut sebagai mitos tidaklah berlebihan. Belum lama ini pada 1 Agustus 2010 ada peristiwa penyerangan terhadap gereja HKBP di Bekasi yang sempat hangat dibicarakan padahal sebelum itu pada 27 Juli 2010 ada juga peristiwa pembakaran masjid Porsea di Toba Samosir Sumatra Utara tetapi yang ini kurang disorot dan cenderung dipendam. Kenapa disaat umat Islam tertindas dan terdzalimi kurang disorot dan cenderung dipendam . Ini yang membuat saya perlu mengkaji hal tersebut. Untuk mempersingkat saya akan ambil contoh frame pemberitaan beberapa media online di tanah air. Kompas.com tertanggal 13 Agustus 2010 hanya mewawancarai Franz Magnis Suseno sebagai tokoh agama dari Kristen saja, ini terkesan lateral (sepihak) dan tidak berimbang. Sama halnya dengan mediaindonesia.com 10 Agustus 2010 dengan judul Pemimpin Tertinggi HKBP Sesalkan Penyerangan dan masih banyak lagi. Tapi saya juga menjumpai pemberiataan yang relatif obyektif dan berimbang seperti yang ditulis oleh tempointeraktif.com tertanggal 1 Agustus 2010 yang berjudul Ormas Islam dan Jemaat HKBP Bekasi Bentrok. tempointeraktif.com menulis karena pihak HKBP tidak mengantongi izin dan melanggar aturan yang berlaku kemudian disertai opini dari pihak FPI, HKBP dan Pemda Bekasi. Ini semua merupakan agenda setting yang direncanakan dan prasyaratnya tentu saja fenomena-fenomena diatas itu oleh media dibungkus menjadi hipperrealitas. Saya teringat teori komunikasi yang disebut dengan Needle Theory atau teori jarum suntik, dimana publik akan dengan serta merta menerima apa yang disampaikan oleh media. Maka tidak heran kalau Presiden dan sejumlah tokoh langsung berbicara mengenai kebebasan beragama dan pluralisme. Saya kira kita semua sepakat jika kelompok-kelompok liberal mejadi dalang sekaligus aktor inteletualis dari semua ini. Yang jelas kita harus senanstiasa menggunakan paradigma yang kritis dan transformatif. Sekian. Yakin usaha sampai....!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H