Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

HiperIndonesia, Hiperrealitas dan Hiperdemokrasi

27 Agustus 2010   10:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:40 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama kurang lebih 32 tahun masyarakat Indonesia tidak pernah mengecap yang nama demokrasi secara substansial. Rezim Orde Bau, meminjam Benedict Anderson seorang Indonesianis dari Cornell University adalah sebuah rezim yang totaliter-oligarkis dan membungkam segala bentuk kebebasan terutama pers dan bahkan pada masa itu oposisi pun artifisial rezim, sebutlah Suryadi, Naro dan sebagainya.

Pasca gerakan reformasi 1998 yang melibatkan mahasiswa dan rakyat kondisi mulai berbalik, rezim bangsat yang mengangkangi Indonesia selama hampir 32 tahun diganti paksa tanpa ada perlawanan dari Sang Kaisar Soeharto. Ujung-ujungnya kaisar mengundurkan diri dari tahtanya. Ada yang menarik dari kejatuhan Sang Kaisar kalau kita baca sejarah Marcos di Filipina atau pun Mobutu Sese Seko di Zaire(Kongo). Pada saat Marcos dan Mobutu jatuh kroni-kroninya banyak yang kabur keluar negeri. Yang menarik dalam kasus Indonesia tidak ada yang lari keluar negeri. Artinya merasa aman dan tenteram.

Efek kejatuhan Sang Kaisar sehubungan dengan gaya kepemimpinan yang otorier dan sentralistik. Indonesia mulai belajar lagi berdemokrasi bahkan seolah mengimpor dari luar negeri khususnya Amerika Serikat. Pemilu multi partai 1999 kemudian UUD 1945 pun mengalami amandemen sampai empat kali, liberalisasi dalam segala bidang bahkan pada tahun 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini pemilihan presiden dipilih langsung oleh rakyat kemudian diikuti juga untuk pemilihan kepala daerah atau yang biasa dikenal dengan Pilkada.

Nilai reformasi yang diperjuangkan pada 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dari sistem tiranik dan represif. Maka lahirlah demokratisasi seperti yang dirasakan saat ini. Banyak kalangan menilai ini sudah saatnya untuk meninggalkan masa transisi, artinya, proses transformasi dari masa “belum demokratis” menjadi masa yang “lebih demokratis” harusnya sudah lebih bersifat substansial ketimbang prosedural. Sayangnya, masih banyak yang menilai bahwa proses demokratisasi kita masih terbatas pada proses prosedural. Celakanya, banyak aktor politik yang justru terjebak dan menjustifikasi proses prosedural ini. Prinsip-prinsip berdemokrasi, berpolitik, menyampaikan pendapat dan aspirasi, menjalankan pemerintahan dan lain sebagainya banyak mengabaikan prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran substansial. Semua itu dilakukan karena kepentingan pragmatis semata. Karena demokrasi cacat, politik menjadi tanpa makna hanya sekedar sign dan signifier saja.

Hiperdemokrasi mungkin tepat menggambarkan kondisi kacau hari ini. Demokrasi Indonesia memang terkesan balas dendam, berlebihan atau bahasa anak sekarangnya lebay akibat dipasung selama 32 tahun. Media pun tak henti-hentinya menayangkan hiperrealitas. Hasil rekayasa pencitraan, simulasi dan halusinasi yang hanya cermin retak dari realitas dianggap lebih nyata dibandingkan realitas sesungguhnya. Survey politik dijadikan panduan untuk menentukan pilihan dalam pemilu atau pilkada. Lembaga survey yang terkadang sekaligus konsultan politik dapat mengemas seorang kandidat yang tidak kapabel seolah-olah kapabel. Jangan heran kalau hari ini Jalanan macet, ekonomi macet, politik macet bahkan regenerasi macet. Karena pada pemilu lalu lembaga survei dan konsultan politik yang mengemas SBY sangat berhasil memanipulasi persepsi rakyat Indonesia. Kondisi hari ini, mau tidak mau harus kita akui SBY tidak kapabel dan mungkin anda semua terkena sihir dan sulap hiperrealitas lembaga survei dan media sehingga sim salabim LANJUTKAN. Hari ini kita tidak butuh pemimpin yang pandai berakting di depan kamera tetapi pemimpin yang mampu mencari jalan keluar dari krisis dan permasalahan bersama. Terkadang lucu, mengenang seorang jenderal yang dapat menangis di depan kamera pada saat rapat dengan Komisi III DPR. Apa benar jenderal diajari menangis seperti itu atau memang hanya bisa menangis jika ada kamera di depannya. Aneh memang inilah hiperrealitas, hiperdemokrasidan pokoknya segalanya hiper.

Kok rasanya berbicara demokrasi di Indonesia sulit betul dicari succes story nya, semuanya serba rekayasa citra, manipulasi dan halusinasi. Ini semakin dipertegas dengan fakta, hampir tiap pilkada selalu dibarengi dengan konflik, chaos dan gugatan pihak yang kalah ke MK. Seperti saya jelaskan diatas memang tidak murah menjual citra, minimal lembaga survey dan konsultan politik yang meracik visi dan misi, Ini semua tidak murah belum lagi uang saku buat konstituen. Jika logika modal yang digunakan, ya wajar saat kalah tidak bisa legowo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun