[caption id="attachment_174760" align="alignleft" width="285" caption="Jokowi dan ESEMKA (sumber: tribunnews.com)"][/caption] Boleh jadi mereka lahir puluhan tahun setelah Henry Ford di Amerika Serikat menemukan lini produksi massalpada industri otomotif modern lalu selanjutnya ada Ferdinand Porsche yang merancang VW di Jerman dan pioner-pioner industri mobil Jepang macam Soichiro Honda, keluarga Toyoda dan Michio Suzuki. Keberanian siswa-siswa SMK di Surakarta yang telah trial and error menciptakan sebuah mobil meskipun belum 100% menggunakan komponen lokal layak mendapat apresiasi dari seluruh Rakyat Indonesia . Mereka tidak bisa mengklaim diri sebagai yang pertama bermimpi membuat mobil lokal setelah sebelumnya kita pernah mendengar Texmaco Perkasa-nya Bakrie yang gulung tikar karena direcoki Tommy Soeharto dengan konsesi dari bapaknya (Soeharto) untuk menjadikan Timor sebagai proyek mobil nasional. Namun, kedua upaya memimpikan sebuah mobil nasional yang terjangkau dan berkualitas bagi Rakyat Indonesia harus kandas ditengah badai investasi triliunan rupiah perusahaan otomotif Jepang. Perjuangan dan perjalanan ESEMKA menjadi mobil nasional masih panjang tentu akan berbenturan dengan serbuan mobil produksi perusahaan-perusahaan otomotif Jepang yang telah mapan. Jika dahulu Texmaco dan Timor menghadapi perusahaan otomotif Jepang seperti rusa lawan harimau, hari ini ESEMKA bagai semut melawan gajah. Kenapa??? Bayangkan perlakuan tidak adil yang terkesan menjegal ESEMKA. Jika ESEMKA mendapat dukungan pemerintah sebagai Industri entah itu menjadi BUMN atau BUMD akan cukup signifikan menggerus pasar mobil Jepang minimal di Jawa Tengah atau bahkan Indonesia. Ini yang menjadi ancaman bagi produsen dan distributor mobil-mobil Jepang yang tergabung GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia). Prestasi dan Potensi Industri Kita Mobil ESEMKA ciptaan siswa-siswa SMK di Surakarta sepertinya belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kembali melihat respon dan prosedur yang harus dilalui ESEMKA untuk mendapat sertifikasi dengan melalui berbagai ujian untuk menjadi kendaraan yang dapat digunakan oleh masyarakat umum tentu dalam hal ini ESEMKA harus diproduksi massal. Ironisnya ESEMKA justru ditafsirkan sebagai sebuah ancaman oleh sebagaian pihak yang berkepentingan. Terakhir ESEMKA divonis tidak layak untuk diproduksi massal lantaran tidak lolos dalam uji emisi. Uji emisi tersebut terkesan sangat kontroversial karena terlampau dibesar-besarkan oleh sejumlah media. Pemberitaan lebay kegagalan ESEMKA dalam uji emisi syarat muatan kepentingan ekonomi-politik antara pengusaha dan penguasa. Yang diperlukan ESEMKA beserta siswa-siswa pembuatnya adalah apresiasi, subsidi dan proteksi. Namun yang didapat malah amputasi dari pemerintah dalam hal ini Kementrian Perhubungan, Kementrian Perindustrian dan Kementrian Lingkungan Hidup. ESEMKA yang diuji emisi tersebut memang baru sebuah prototype seharusnya pemerintah memberikan dukungan dengan memberi pendampingan kepada siswa-siswa SMK tersebut dari instansi terkait macam Kementrian Riset dan Teknologi dan BPPT. Kita sama-sama tahu, Bangsa kita telah mampu membuat mobil sejak lama dan yang Rakyat Indonesia inginkan hari ini bukan membuat mobil tapi membangun sebuah industri mobil nasional. Ini bukan mimpi di siang bolong atau sebuah hisapan jempol. Sebagian dari kita tentu belum amnesia dengan IPTN yang kini bernama PT. DI (Dirgantara Indonesia) dan PINDAD. Bagaimana CN-235 alias Gatot Kaca yang laku terjual di kawasan ASEAN dan sejumlah negara Eropa, begitu juga dengan PINDAD dalam industri senjata dan kendaraan tempur. IPTN (kini PT. DI) yang berawal dari Nurtanio sempat menjadi rumah bagi para insinyur-insinyur handal Indonesia dibawah arahan maestro pesawat terbang kelas dunia (Habiebie) jika pemerintah serius dan tegas mampu mencuri pangsa pasar Fokker, lagi-lagi salah dalam strategi kebijakan sehingga penerbangan lokal kita lebih banyak memakai Fokker dibanding CN-235. Sungguh ironis memang penguasa lebih memihak pengusaha yang memasarkan Fokker ke Indonesia. Apakah sejarah kelam dalam mengelola potensi daya saing industri nasional akan kembali terulang? Atau bahkan ESEMKA diamputasi sebelum ia menjadi sebuah industri. ESEMKA yang dipromosikan oleh Jokowi yang juga Walikota Surakarta, dapat mengembangkan ESEMKA menjadi sebuah industri daerah (BUMD) seandainya pemerintah ragu menjadikan ESEMKA sebagai industri mobil nasional. Pengembangan ESEMKA menjadi sebuah industri tentu menjadi proyek yang padat modal, padat teknologi dan padat karya. Industrialisasi ESEMKA sebuah peluang bagi investor lokal dan daerah, selain menjadi tenaga ahli para siswa SMK dapat terserap menjadi tenaga kerja ahli yang dibutuhkan tinggal middle management dan top management serta Research and Developmentdengan menggandeng Universitas dan BPPT. Dan juga sebagai sebuah industri, supply chain (jaringan rantai pasok) pun harus dibangun yakni industri-industri lain yang mendukung keterseidaan material dan komponen ESEMKA disamping after sales service (purna jual). Membangun sebuah industri mobil nasional memang tidak instant dan singkat namun pemerintah dalam hal ini merespon euforia atas keberhasilan ESEMKA juga jangan takut memulai membangun industri mobil nasional dan berpikir singkat ini memerlukan waktu lama dan menundanya demi kepentingan segelintir pihak. Industri mobil nasional tidak sekadar butuh SDM, teknologi, infrastruktur dan sertifikasi dengan beragam serangkaian ujiannya akan tetapi yang utama adalah political will pemerintah dalam bentuk regulasi, proteksi dan subsidi. There is no best way but always there is a better way......
Jakarta, 4 Maret 2012
02.27 Wib
Fariz Maulana Akbar, ST
Departemen Kajian Ergonomi Perancangan dan Pengembangan Produk Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UPI Y.A.I 2006-2007
Ketua Bidang Research and Development Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UPI Y.A.I 2007-2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H