Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Malaysia untuk Sejahtera

27 Agustus 2010   16:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:39 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di HMI saya memiliki seorang teman yang berasal dari Indonesia bagian timur, kami berdua khususnya dan teman-teman yang lain sering berdiskusi masalah kebangsaan. Kebanyakan teman-teman saya yang berasal dari timur memliki rasa nasionalisme yang tinggi terkadang tidak berlebihan jika saya katakan cenderung Chauvinistik.Saya bisa menaruh empati terhadap kondisi kampung halamannya yang sangat jauh berbeda dan timpang jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia di bagian barat. Dia terlalu sering menggunakan term pribumi dan non pribumi, non pribumi khususnya ditujukan pada keturunan Tionghoa.

Pernah suatu kali pada saat kami berdiskusi tentang masalah ekonomi khususnya pengelolaan sumber daya alam. Dia mengatakan bahwa orang-orang Cina biang kerok dari segala permasalahan yang ada di Indonesia. Dengan tenang saya tanggapi, "Bung, kita tidak pernah bisa memilih dari rahim seorang ibu, kita dilahirkan entah sebagai Minang, Jawa, Batak atau Cina sekalipun. Kita juga tidak pernah bisa memilih tempat dimana kita dilahirkan, keluarga saudagarkah, petanikah atau bangsawankah dan terakhir kita tidak bisa memilih sebagai laki-laki atau pun perempuan saat dilahirkan". Artinya ada perbuatan yang tidak dikuasai oleh manusia dalam hal ini. Dan jangan sampai ada hubungan penyerahan, pasrah, pasif bahkan fatalis terhadap apa yang kita terima dalam kehidupan.

Islam sebagai agama yang hak lagi sempurna telah menegasikan hal-hal yang berkaitan primordialisme, struktur kelas sosial dan diskriminasi gender. Jadi setiap orang Islam yang masih mempertahankan eksistensi primordialsme, struktur kelas sosial dan diskriminasi gender harus kita pertanyakan keIslamannnya kembali. Kembali kepada dominasi orang-orang keturunan Cina dalam perekonomian yang bahkan menguasai hampir lebih dari 60% total aset yang ada bukanlah hal yang baru. Saya akui kesejahteraan mustahil diciptakan tanpa adanya keadilan. Dalam struktur ekonomi sosial di manapun, jika kelompok minoritas menguasai sektor apa pun lebih dominan dibandingkan kelompok mayoritas pasti akan mengahsilkan konflik dan chaos. Jadi saya katakan bahwasanya dominasi ekonomi orang-orang Cina atas pribumi membahayakan kestabilan kondisi ekonomi politik di Indonesia disamping membahayakan orang-orang Cina itu sendiri dan tentu juga pribumi. Jika ini terus dibiarkan oleh negara bukan tidak mungkin ada konflik horizontal antara orang-orang Cina dan pribumi.

Solusinya pemerintah dalam hal ini presiden bersama DPR harus mengeluarkan kebijakan berupa undang-undang yang bertujuan mengatasi kesenjangan ekonomi antara pribumi dan  orang-orang Cina. Kebijakan itulah yang saya yakini banyak dapat mengangkat kesejahteraan etnis pribumi di satu sisi, tapi justru memberikan jaminan keamanan terhadap orang-orang Cina sisi lain. Dengan Dasar Ekonomi Baru tersebut pemerintah harus mencetak aturan yang mengharuskan 50% kepemilikan aset dikuasai oleh pribumi, sedangkan 30% diperuntukkan orang-orang Cina dan 20% sisanya untuk asing.

Sekedar contoh kita bisa belajar dari Malaysia, meski hari ini hubungan dipolomatik kita agak buruk. Dimana pada tahun 1969 di Malaysia pernah terjadi kerusuhan rasial antara etnis Melayu dan etnis Cina lantaran dominasi Cina yang berlebihan dan privilge nya dalam perekonomian, akibatnya ada ketimpangan anatara etnis Melayu dan etnis CIna yang memicu kerusuhan. Setelah Malaysia menata ulang struktur perekonomian seperti hari ini dimana keberadaan pribumi sangat dihargai dan diapresiasi. Malaysia dapat lebih sejahtera dibandingkan kita. Dengan tidak adanya ketimpangan akibat dari dominasi kelompok minoritas Cina terhadap mayoritas pribumi kedepan tidak akan kita jumpai lagi disaat orang pribumi stress karena tidak makan atau karena harga-harga melambung tinggi melempari rumah orang Cina atau bahkan menjarah toko-tokonya. Hari ini memang lucu, disaat orang Cina berjualan didalam tokonya yang megah. Si tuan rumah pribumi cukup dapat emperan toko orang Cina ala kadarnya. Dahulu HOS Cokroaminoto sempat mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI) untuk mengimbangi dominasi pedagang Cina atas pedagang pribumi. Hari ini pun hal seperti masih diperlukan dan harus ada keberanian dari negara atau tokoh bangsa untuk menyuarakan wacana seperti ini. Ini bukan SARA atau pun tindakan rasialis tetapi ini adalah mekanisme yang arus dilewati untuk mewujudkan masyarakat adil makmur. Dan Malaysia sudah melakukan itu, apakah Indonesia harus menunggu ada konflik rasial seperti di Malaysia tahun 1969.

Kembali saya ingatkan pada kawan saya, bahwa mereka orang-orang china tidak memilih untuk dilahirkan sebagai Cina begitupun kita. Jadi jangan membenci orang-orang Cina melainkan kita harus merubah kondisi dari tatanan sosial yang ada. Dan kami berdua pun tentu tidak akan memilih jadi aktivis mahasiswa jika dilahirkan di keluarga konglomerat, keraton atau bahkan keluarga SBY. Akhirnya seperti yang sering kawan saya ucapkan pada orasinya di jalanan. "Buat apa ada negara, jikalau rakyatnya miskin". Hanya semangat, tekad dan harapan yang akhirnya membuat kami berdua tidak menyerah pada keadaan. DEMI HIDUP TAK PERLU HARUS MATI.............

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun