Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Take Over

31 Oktober 2010   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_309731" align="alignleft" width="120" caption="Event organizer yang kering spiritualisme, intelektualisme dan aktivisme"][/caption] Mahasiswa hari ini adalah salah satu target pasar yang menggiurkan bagi sekelompok kapitalis yang mengkomodifikasikan gaya hidup, seolah ingin mengkerdilkan sense of crisis mahasiswa agar apatis terhadap dinamika sosial dilingkungan sekitarnya. Oleh karena itu perlu inisiatif dari mahasiswa elitis (aktivis) untuk memberikan pencerahan bagi teman-temannya yang terjebak dalam budaya hedonisme yang konsumtif, sehingga bisa mengkonsolidasikan diri sebagai kekuataan moral sekaligus politik untuk melakukan kontrol dan koreksi terhadap roda pemerintahan. Kehidupan dunia semakin mengarahkan manusia untuk memenuhi hasratnya tanpa batas, tak terkecuali mahasiswa. Dalam kehidupan mahasiswa UPI Y.A.I (di FIKOM khususnya), mahasiswa begitu banyak mendapat tawaran untuk memenuhi hasrat yang hadir dan berganti begitu cepat, baik yang berupa materi kongkrit ataupun hanya sesuatu berupa imajinasi yang dapat memenuhi kepuasan batin manusia dan tanpa kedalaman makna. Konser musik lebih ramai dibandingkan dengan pengkajian atau forum diskusi. Fetisisme pun menjangkit paradigma mahasiswanya, mereka berlomba-lomba mendapatkan nilai bagus tanpa mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaplikasian nilainya itu dalam lingkunganya, seminar-seminar ramai dikunjungi untuk mendapatkan sertifikatnya. Ruang-ruang kampus tidak ubahnya seperti shop display. Disatu sisi mahasiswa didalamnya lebih senang menampilkan gaya bicara, gaya pakaian (mahasiswa tidak ubahnya dengan patung-patung di toko pakaian yang mempublikasikan model pakaian yang sedang populer), gaya handphone, parade mobil mewah ketimbang mengejar pengetahuan dan mengaplikasikannya. Sedangkan di pihak lain, tenggelam dalam mengejar tugas, nilai, dan kelulusan, tetapi tidak punya waktu dan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul di dalam kehidupan nyata (sosial kampus, politik kampus ataupun bahkan spiritual).Berkata memperjuangkan nasib rakyat tetapi masih bergaya hidup hedon. Membela pendidikan tetapi sekaligus tidak menghargai pendidikan, misalnya datang sangat terlambat ketika perkuliahan, suka berkelahi/tawuran dan mengandalkan pembawaan hewaaniah (otot, jumlah masa, pengumbar hasrat dalam gaya hidup) tanpa mengandalkan pembawaan manusiawi (nalar). Lingkungan mahasiswa tidak ubahnya sebuah tempat isolasi, di satu pihak, untuk mencari nilai, gelar dan kelulusan; di pihak lain kepuasaan, keterpesonaan dan kesenangan, dan tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan lainnya: intelektualitas, produktivitas, sosialitas. Entah disadari atau tidak oleh pelakunya. Di dalam mengonsumsi pengetahuan dan berbagai gaya hidup, ia menjadi mayoritas yang diam (the silent majorities), yang hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikan dan memaknainya. Organisasi-organisasi internal kampus seperti BEM, Senat, Himpunan Mahasiswa Jurusan dan UKM tidak lebih seperti event organizer, karena hanya dijadikan alat untuk depolitisasi didalam kampus sehingga tidak ada kekuatan penyeimbang terhadap kebijakan yayasan, kampus dan fakultas yang tidak populis di mata mahasiswa. Bung Hatta pernah berkata bahwa kampus adalah republik berpikir bebas namun saat ini telah terjadi desakralisasi pada kampus dimana seharusnya kampus menjadi laboratorium pemikiran dan salah satu sumber kepemimpinan telah mati suri karena banalitas budaya, kering akan kegiatan penelitian dan diskusi ilmiah serta minimnya advoaksi terhadap masyarakat, seakan Tri Dharma Perguruan tinggi hanya dijadikan sebuah jargon. Melihat kejumudan di kampus UPI Y.A.I khususnya di Fakultas Ilmu Komunikasi maka kader HMI di FIKOM harus kembali mengambil alih kepemimpinan Senat Fikom untuk kembali menanamkan kembali trilogi kemahasiswaan yaitu spritualisme, intelektualisme dan aktivisme karena tanpa trilogi kemahasiswaan tersebut Senat Fikom tidak akan pernah menjadi laboratorium pemikiran bagi seluruh mahasiswa FIKOM melainkan hanya akan menjadi sebuah event organizer yang oligarkis (dikuasai dan dinikmati kelompok tertentu). Untuk kader HMI di FIKOM there is no way out other than take over. Yakin usaha sampai...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun