Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua (CSD)
[caption id="attachment_301249" align="alignleft" width="84" caption="Siapa yang bawa???"][/caption] Sudah hilang entah kemana buku Catatan Seorang Demonstran terbitan LP3ES. Saat membaca headline Kompasiana hari ini rasanya ingin kembali membaca buku itu. Sambil coba mengingat oleh siapa buku itu dipinjam sekaligus mengenang isi buku tersebut. Membaca Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran seolah membaca tokoh dalam sebuah dongeng. Intelektual, demonstran, sastrawan, pecinta alam, sejarawan dan budayawan seolah melekat pada seorang Soe Hok Gie. Sebagai salah seorang aktivis angkatan 66 Soe Hok Gie merupakan sosok yang sangat sulit dicari padanannya saat ini. Soe Hok Gie adalah perpaduan antara seorang pemikir dan pejuang serkaligus memiliki kemampuan mengorganisir massa. Dalam sisi ini jelas kita lihat sosok Soe Hok Gie yang bukan hanya intelektual tapi juga demonstran. Soe Hok Gie adalah intelektual demonstran. Mungkinkah Soe Hok-gie terinspirasi oleh thesis Karl Marx tentang Feuerbach yang menyatakan, "Seorang filsuf hanya mampu menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi hanya seorang yang revolusioner yang mampu mengubahnya". Sebagai seorang intelektual demonstran, Soe Hok Gie betul-betul mampu melakukan sinergi antara potensi-potensi yang dimilikinya. Sebagai salah seorang yang terlibat menumbangkan Orde Lama sekaligus membidani kelahiran Orde Baru Soe Hok Gie tidak mengikuti jejak langkah aktivis-aktivis seangkatannya yang tergoda untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, macam Akbar Tanjung, Mar'ie Muhammad, Cosmas dkk. Pilihannya untuk terus mengawasi dan kritis terhadap gejolak politik, ekonomi dan budaya seperti tertulis dalam Catatan Seorang Demonstran ''Lebih baik terasing dari pada mengalah pada kemunafikan". Soe Hok Gie seperti menyadari manisnya madu kekuasaan akan cenderung untuk disalah gunakan. Dan hal ini memang terbukti dengan kebobrokan yang melekat pada rezim Orde Baru. Seperti apa yang ditulis Gramsci tentang seorang yang mampu mencerahkan sekaligus berusaha merubah kondisi masyarakat dan Soe Hok Gie memang patut disebut sebagai seorang intelektual organik. Tulisan-tulisannya di sejumlah koran pada waktu itu mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat luas dan demonstrasi dijadikan sebagai cara alternatif untuk menekan sejumlah kebijakan pemerintah di awal Orde Baru. Sayang Soe Hok Gie tidak sempat menyaksikan kejatuhan Rezim yang dibidani sekaligus dikiritisinya pada 1998 silam karena ia telah dahulu mendahului rekan-rekan seangkatannya. Kematiannya di Puncak Semeru pada 16 Desember 1969 masih menyisakan sebuah misteri tersendiri bagi yang pernah membaca Catatan Seorang Demonstran. Dan tidak berlebihan jika menyatakan bahwa idealisme Soe Hok Gie telah membunuh dirinya sendiri. Melihat gerakan mahasiswa saat ini mutlak diperlukan Soe Hok Gie-Soe Hok Gie baru yang mampu menjaga moralitas gerakan agar tidak terjadi penyelewengan dan pengkhianatan. Tranfosmasi dari gerakan sosial ke arah gerakan yang berorientasi politik memang sebuah kebutuhan sekaligus keniscayaan tetapi harus tetap menjaga kerangka etis dan moral serta menjauhi permisifisme yang telah mendarah daging (diselesaikan secara adat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H