Berbicara mengenai politik banyak orang awam cenderung bersikap apatis atau apolitis dikarenakan mereka hanya melihat teknis di lapangan yang sering diselesaikan secara adat (meninggalkan moralitas). Banyak contoh yang memperkuat argumen diatas, misalnya konflik pasca Pilkada di beberapa daerah yang sebabkan dalam melakukan langkah-langkah politiknya tidak lagi mengindahkan moral. Mereka bahkan mempermainkan nilai-nilai moral untuk keuntungan pribadinya. Bagi-bagi uang dan sembako menjelang pemilihan mereka katakan sebagai peduli pada orang miskin. Imbas dari praktek politik yang mengabaikan moralitas yaitu timbulnya barisan sakit hati, jika semakin diperuncing atau dikompori ujung-ujungnya pastilah konflik sosial. Saya menilai banyak sekali mereka yang ikut kontestasi dalam Pilkada bergaya Machiavellian, menghalalkan segalanya termasuk dengan cara-cara binatang yang jauh dari moralitas dan etika. Berbicara moralitas tentu kita tidak bisa meninggalkan filsuf Immanuel Kant. Meminjam istilah Immanuel Kant , para politisi kita lebih terlihat sebagai moralis politis daripada politisi moralis. Kant mengatakan bahwa moralis politis adalah “one who forges a morality in such a way that it conforms to the statesman’s advantage”. Politisi yang bermental moralis politis ini selalu mereka-reka moralitas sedemikian rupa sehingga sesuai bagi keuntungan dirinya. Moralis politis ini melihat politik sebagai persoalan teknis, bagaimana mencapai kekuasaan dengan segala cara, menghalalkan segala cara. Sedangkan politisi moralis adalah politisi yang senantiasa memilih prinsip-prinsip kecerdikan bernegara sedemikian rupa sehingga sejalan dengan prinsip-prinsip moral. Kant mengatakan ”one who so chooses political principles that they are consistent with those of morality”. Politisi moralis melihat politik sebagai persoalan etis. Jadi, seorang politisi moralis tetap harus cerdik dalam melihat peluang politik, namun dia harus punya intensi moral. Politik adalah wisdom/kebijaksanaan. Mana mungkin bisa diimplementasikan tanpa kebijakan. Mana mungkin muncul kebijakan tanpa kewenangan. Mana mungkin ada kewenangan tanpa jabatan/kekuasaan. Bagaimana mungkin mendapatkan jabatan/kekuasaan tanpa persaingan. Mana mungkin bisa bijaksana tanpa kearifan. Mana mungkin muncul kearifan tanpa pemahaman terhadap realitas. Mana mungkin punya pemahaman tanpa ada keterlibatan. Mana mungkin ada keterlibatan tanpa ada kepedulian. Sekarang anda tinggal memilih mau jadi moralis politis yang Machiavellian atau politisi moralis yang Kantian. Tentunya pilihan itu memiliki kosekuensi logis masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H