Mohon tunggu...
Fariz Maulana Akbar
Fariz Maulana Akbar Mohon Tunggu... -

Apakah dengan menjadi Islam saya langsung menjadi demokratis? dan apakah sebaliknya Anda yang demokrat otomatis menjadi Islam?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kleptokrasi Berbalut Kapitalisme di Indonesia

13 Agustus 2010   16:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat selembar negeri berjudul Indonesia, seperti menikmatiparade parodi tiada henti. Dalam sesaat saja pemberitaan media meyajikan fakta yang mengiris logika dan menginjak-injak rasa percaya. Kepada siapa lagi kita menitipkan rasa percaya? Jika demokrasi yang dielu-elukan sebagai juru selamatitu ternyata tak lebih dari sekadar komoditi yang dimonopoli oleh para pemegang kendali. Jika hukum tak mampu melindungi, dan sekali lagi menjadi barang dagangan. Jika mereka yang mengaku pemimpin rela menjual harga diri, bahkan menggadaikan kepercayaan rakyat dengan segepok rupiah uang yang dirampok lewat Century. Anjing! Lihatlah, mereka tengah menjilati kaki majikan mereka, orang yang telah memilih mereka, lalu menggonggong ketika teguran menghampiri mereka. Entah, entah sampai kapan anjing-anjing itu itu duduk diatas singgasana menggonggong dihadapan jasad-jasad tak berotak. Teruslah jadi mayat jika kalian hanya bisa diam.

Dunia macam apa ini? Manusia masih saja bicara soal moralitas, saat kebusukan sistemik yang sudah merasuk keseluruh saraf perekonomian diklaim sebagai sebuah kebijakan. Kita harus terus mencaci para koruptor-koruptor keparat itu bahkan menyeretnya ke meja hijau. Ironisnya pertunjukkan keadilan telah tidak ada lagi dimuka bumi. Kalaupun mereka dikatakan bersalah kemudian berakhir pada pemakzulan jabatan (Impeachment) dan waktu 1 atau 2 tahun dianggap cukup untuk membayar utang mereka kepada rakyat yang jumlahnya trilyunan rupiah. Lagian apa susahnya melewatkan beberapa bulan dalam bui kelas VIP? Padahal maling ayam saja sering dihakimi massa sampai mati untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kalau bicara keadilan, kenapa orang orang seperti mereka yang rampasannya bisa membuat peternakan ayam tidak dibakar hidup-hidup saja.

Legislatif pun tak kalah korup, saat mereka mengesahkan RUU penanaman modal, privatisasi energi dll. Dimana mereka yang katanya mewakili rakyat? Dimana yang katanya memperjuangkan keadilan? Padahal jelas-jelasRUU yang mereka sahkan itu memberikan kesempatan kepada para komparador bangsat bercokol lebih lama untuk merampas kekayaan ibu pertiwi? Ah rupanya dari Grogol (rumah sakit jiwa) pasiennya banyak yang lari ke Senayan.

Ah...!!! siapa sih yang melahirkan para babi berkepala manusia itu? Hanya kebusukan yang mampu melahirkan kebobrokan. Dan kebusukan itu bernama KAPITALISME, ibu dari seluruh anjing dan babi bermuka dua seperti. Dari rahimnyalah lahir pemikiran-pemikiran najis yang menTuhankan materi dan menyembah berhala kebebasan.

“Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu......Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua.”Sepotong ungkapan Soe Hok Gie itu bisa mewakili kita semua teman-teman. Maka hey! kalian yang mengaku pemuda, bangkit dan lawanlah! Atau kalian lebih suka bermanja dibawah ketek ibu kalian, atau memakai rok dan nongkrong di taman Lawang. Jadilah bencong, pecundang.

Kita tidak boleh lelah mencaci, tak kan berhenti memaki, hingga sistem ini membusuk bersama belatung-belatung kecongkakan mereka. Kita tidak akan berhenti hingga musnah daya ini. Tapi bukankah sejarah tidak pernah dibangun dengan sekadar caci maki dan sumpah serapah atas ketidakadilan? Sejarah selalu menuntut kucuran keringat dan darah. Karena itu kawan, mari bergandeng tangan untuk bergerak dan melawan! Mari berjuang untuk membangun peradaban gemilang, untukku, untukmu, untuk mereka serta anak cucu kita kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun