Malcolm Gladwell menjabarkan idenya yang cukup ekstrim di konferensi Zeitgeist Google. Ujarnya, "If you want to get a science and math degree, don't go to Harvard!" Bahkan, tambahnya, jika ada pilihan antara Harvard atau Maryland (kira2 universitas lapis kedua di Amerika), pilihlah Maryland.
Kenapa?
Salah satu alasan utama ujarnya, yang menurut saya paling menarik, adalah yang oleh psikolog disebut sebagai fenomena 'Relative Deprivation'.
Mari kita coba bagi mahasiswa di satu universitas berdasarkan IP-nya: ada yang ranking atas, ranking menengah, dan ranking bawah. Semua orang paham bahwa ranking bawah Harvard-walaupun ranking bawah-tetaplah orang2 cerdas. Merekalah orang2 pilihan dari orang2 pilihan se-Amerika, bahkan sedunia. Kalau dibandingkan nilai SAT-nya, bahkan ranking bawah Harvard ini masih lebih tinggi dibandingkan ranking atasnya Maryland.
Tapi ternyata itu semua hanya angka di atas kertas yang tidak mutlak. Sebuah studi membandingkan performa lulusan PhD di bidang ekonomi dari universitas2 di Amerika. Yang mereka nilai adalah jumlah publikasi di jurnal untuk mereka yang menjadi dosen setelah lulus. Hasil menariknya: ternyata ranking atas lulusan 'universitas biasa' memiliki performa lebih baik dibandingkan ranking bawah lulusan Harvard, Princeton, dll.
Di sinilah efek 'Relative Deprivation' bekerja. Karena sejatinya manusia cenderung menilai dirinya _relatif_ terhadap orang lain _di sekitarnya_. Jadi, walaupun anak sekolah unggulan, tapi kalau ranking 40, perasaan dominannya adalah, "innalillahi, saya ranking 40 dari 40", bukan "alhamdulillah, saya ranking 40 dari ribuan anak di kota ini."
Apa saja yang tersirat dari teori ini? (No 1-2 dari Gladwell, sisanya dari saya)
1. Bagi perusahaan, rekrutlah orang2 terbaik dari universitas apa saja. Justru "Kami hanya merekrut orang2 dari universitas2 top" adalah prinsip yang salah.
2. Bagi calon mahasiswa, jangan masuk ke pilihan pertama. Tapi ambillah pilihan kedua atau ketiga, dan jadilah yang terbaik di sana.
3. Bagi mahasiswa, jangan sombong dengan keterima di ITB, Tokyo, atau bahkan MIT. Karena itu belum berarti apa2. Karena setelah lulus, bisa jadi mapres Undip bisa lebih baik performanya dibandingkan kita yang hanya medioker di universitas top.
4. Bagi pengambil kebijakan di level pendidikan tinggi, teori ini berarti membangun universitas baru lebih baik dibandingkan menambah kapasitas penerimaan ITB.
5. Bagi pengambil kebijakan di level pendidikan dasar/menengah, teori ini berarti memperbanyak jumlah kelas adalah kebijakan positif. Misal jumlah satu angkatan adalah 240 anak. Daripada dibagi menjadi 6 kelas (masing2 40 anak), barangkali dengan dibagi menjadi 12 kelas (masing2 20 anak) punya efek positif yang signifikan. Kenapa? Karena akan lebih banyak anak yang menjadi ranking 1 di kelasnya.
6. Tampaknya solusi 'Relative Deprivation' ini sederhana -> kita harus lebih banyak bersyukur, di posisi mana pun.
7. (Silahkan ditambahkan ide2 lain)
Jadi, pilih ITB atau Undip?
Ditulis oleh Radon Dhelika, peserta program doktoral Tokyo Institute of Technology
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H