Mohon tunggu...
Fariz Nurwidya
Fariz Nurwidya Mohon Tunggu... -

Dokter lulusan FKUI tahun 2006. Sejak tahun 2009 sekolah spesialis paru di FKUI. Kemudian tahun 2010 dikirim ke Juntendo University dalam rangka pendidikan jenjang doktoral (Ph.D).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Mental Petarung dalam Berburu Beasiswa

28 Juni 2013   15:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mungkin orang akan mengatakan, ‘masak iya harus se-lebay itu dalam mencari beasiswa?’ Tidak masalah apapun komentar orang. Yang jadi masalah adalah sekuat apa kita menghadapi penolakan dari lembaga pemberi beasiswa.

Saya mulai membangun impian sekolah ke Jepang sejak tahun 2000, yaitu ketika SMU kelas 3 mendekati EBTANAS. Ternyata ketika datang ke gedung Japan Foundation, masa pendaftaran beasiswa Monbukagakusho dari Kementerian Pendidikan Jepang telah berakhir. Saat itu, saya belokkan konsentrasi kembali ke UMPTN. Doa saya kepada Allah meminta rizki pendidikan gratisan tidak pernah berhenti

Ini sedikit kisah dari seorang siswa yang biasa-biasa saja, namun mudah kagum sama kisah sukses para pemburu beasiswa yang dikisahkan dalam buku inspiratorial. Saya juga mengambil manfaat besar dari buku-buku Habiburahman el Shirazy yang banyak memuat perjuangan pemuda-pemuda Indonesia seperti Khairul Azzam di Mesir. Namun ada tokoh dalam buku lain beliau yang cukup berpengaruh, karena isinya perjuangan seorang Indonesia yang studi di Universiti Malaya program master tanpa beasiswa. Jadi digambarkan betapa beratnya perjuangan setiap hari membagi waktu antara kuliah dengan bekerja sampai larut malam. Buku tersebut sangat memotivasi saya, sampai-sampai kalau lagi praktek malam dan sedang tidak ada pasien maka yang saya telusuri di internet adalah bagaimana caranya mendaftar program Master of Public Health (M.P.H.) di Universiti Malaya. Waktu itu saya berhitung berapa biaya yang harus disiapkan kalau ingin studi disana dan didapat biaya masih dibawah 60 juta rupiah, itu waktu tahun 2007.

Di tahun 2007 tersebut, saya ingat sekali saya mendaftar beasiswa Chevening untuk Inggris, lalu ditolak. Saya mendaftar sekolah Erasmus University of Health Sciences, ditolak juga. Jadi sudah ditolak sama universitasnya duluan, maka sama sekali tidak bisa mendaftar beasiswa Stuned Pemerintah Belanda. Saya kemudian mendaftar beasiswa Australia Development Scholarship (ADS), bahkan tidak lolos seleksi berkas. Di akhir tahun 2007 saya jadi berpikir, ‘begini ya rasanya ditolak 3 institusi dalam setahun’. Ini kemudian membawa saya kembali teringat untuk menuntaskan kewajiban moral saya sebagai dokter yang sekolahnya dibantu pemerintah Indonesia, yaitu Pegawai Tidak Tetap (PTT) Depkes. Alhamdulillah saya dan istri bisa bekerja sebagai dokter PTT di Kabupaten Bengkulu Utara. Ketika PTT tahun 2008 ini, kembali saya mendaftar beasiswa ADS, dan dipanggil wawancara, berarti lolos seleksi berkas. Beberapa bulan kemudian keluar hasil bahwa saya tidak lolos. Saya ingat betul gaya istri menghibur saya pada detik-detik pertama menerima pengumuman tidak lolosnya saya. Beliau mengajak saya makan sate di pasar dekat puskesmas kami. Entah kenapa, itu sate paling unik dalam hidup saya, ‘sate ba’da rejection’, yaitu sejenis sate yang bisa menghibur anda setelah anda aplikasi anda ditolak. Tentunya sate ini harus disantap bersama keluarga. Inilah saat-saat paling terkenang buat saya.

Tahun 2010 saya mencoba melamar beasiswa Monbukagakusho Pemerintah Jepang. Dan menjadi terang benderanglah ketetapan Allah: saya diterima sekolah doktoral di Jepang dengan beasiswa Monbukagakusho, tepat 10 tahun sejak saya bermimpi sekolah ke Jepang pada tahun 2000.

Disini terlihat, jarak antara impian pertama kali ada dalam pikiran sampai Allah takdirkan jadi kenyataan adalah 10 tahun. Saya kemudian merenung begini, “saya terus-menerus ditolak oleh lembaga beasiswa untuk program Master karena ternyata Allah menetapkan takdir untuk saya sekolah program Doktoral”. Saya benar-benar yakin pentingnya untuk terus berprasangka baik kepada Allah, justru ketika benturan pertama, yaitu saat detik-detik pertama kita menerima berita yang tidak menggembirakan.

Jadi cuma beberapa pemikiran yang ingin saya sampaikan:

1.Sebagaimana perkataan seorang tokoh yang saya kagumi, beliau bilang ‘kemenangan itu terjadi dua kali, pertama dalam pikiran, baru menyusul kemenangan dalam alam realita’. Ini benar saya rasakan, pentingnya mempertahankan mimpi dan doa kita.

2.Kalau kita belum mendapatkan apa yang kita doakan dan ikhtiarkan, maka berprasangkalah bahwa Allah memiliki yang lebih baik dari yang kita minta.

3.Teruslah membaca buku-buku kisah sukses para pemburu beasiswa. Buatlah pengetahuan hasil bacaan tersebut masuk kedalam diri kita, dan menggerakkan kita untuk jangka waktu yang panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun